AdaNews – Mengikuti perjalanan kasus pembunuhan Brigadir J di rumah mantan Kadiv Propam Polri, penulis akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa almarhum bisa dibilang atau sudah menjadi “the whistle blower” dalam membongkar kejahatan besar terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh kelompok Ferdy Sambo di dalam tubuh Polri.
The whistle blower atau “Si Peniup Pluit” dalam bahasa Indonesia merupakan istilah yang kerap digunakan untuk mengungkapkan peran seseorang atau yang menjadi pelapor, pemicu, pembuka atau pengungkap informasi atas aktivitas atau tindakan yang beroperasi di sebuah lembaga atau entitas swasta yang dilakukan secara ilegal, imoral, terlarang, berbahaya dan merugikan. Pembalasan dendam dari pihak yang merasa terancam adalah hal pasti yang harus dihadapi oleh si peniup pluit. Bahkan, kerap kali harus dibayar sangat mahal.
Peran whistle blower ini sangat dibutuhkan dalam tindak pidana secara menyeluruh, khususnya tindak pidana yang terorganisir. Dalam penanganan perkara pidana tertentu, whistle blower bahkan akan mendapatkan perlakuan khusus dari penegak hukum. Sebut saja, tindak pidana korupsi, narkoba, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak kejahatan terorganisir lain yang mungkin sulit untuk dibongkar.
Pada kasus pembunuhan Brigadir J, penyidikan tidak hanya berkutat pada siapa pelaku pembunuhan. Namun, akhirnya melebar hingga menjaring puluhan anggota kepolisian dari berbagai tingkatan pangkat dan jabatan.
Tak hanya itu, publik pun terus menggali rasa penasarannya, hingga akhirnya tersebar berita-berita tentang dugaan Ferdy Sambo sebagai bos mafia di dalam tubuh Polri. Salah satu indikasinya adalah banyaknya temuan harta mantan jendral bintang dua tersebut (Sekarang sudah dipecat dari lembaga kepolisian). Padahal, jika ditakar dengan posisi dan gaji yang diterima Ferdy dari negara, rasanya sulit diterima akal.
Lalu, sejak kapan dugaan Ferdy Sambo menjadi bos mafia di tubuh Polri?
Jika dilihat dari jenjang karirnya, Ferdy Sambo lulus dari Akademi Kepolisian tahun 1994. Dia menduduki jabatan di Mabes Polri sebagai Kasubdit IV Ditipidum Barkrim Polri pada tahun 2016, setelah sebelumnya menjabat Wakil Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya.
Jabatan terakhir Ferdy sebelum dipecat adalah Pati Yanma Polri yang merupakan akronim dari Perwira Tinggi Pelayanan Markas. Jabatan ini harus diterima Ferdy pasca jabatan Kadiv Propam Polri dicopot sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Namun, informasi sejak kapan Ferdy Sambo melakukan dugaan “praktek” ilegal di dalam tubuh Polri, tidak satu pun media mengungkapnya.
Mungkinkah Ferdy melakukan “praktek” ilegal di tubuh Polri sejak 2016 atau sebelumnya atau tuduhan itu malah tidak mendasar? Entah, yang pasti tuduhan Ferdy Sambo seorang bos mafia di tubuh Polri benar-benar ada, tentu sudah sejak sebelum Listyo Sigit Prabowo menjadi Kapolri.
Terlepas dari apapun dalih dan dalil yang dilontarkan ke publik. Namun, rangkaian kejadian mulai mengerucut pada kesimpulan bahwa pembunuhan Brigadir J merupakan tindakan untuk mencegah terjadinya “kebocoran” informasi penting yang diketahui Brigadir J.
Penulis tidak tahu apakah Brigadir J memiliki kemampuan untuk membocorkan informasi tersebut atau tidak, yang pasti dia sudah memiliki perasaan bahwa dirinya berada dalam ancaman sebelum kejadian. Namun, jika kita melihat apa yang terjadi kemudian, tampaknya kelompok Ferdy Sambo mencium gelagat ke arah itu dan keputusan untuk mematikan bahaya kebocoran informasi pun dilakukan sebelum informasi itu benar-benar bocor.
Sayangnya, Sambo terlalu besar dengan segala kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki, hingga tindakan mematikan Brigadir J dilakukan secara serampangan dan kurang memperhitungkan kemungkinan adanya pihak lain yang justru menjadikan mendiang benar-benar seorang whistle blower .
Kematian yang menimpa Brigadir J adalah resiko yang harus diterima sekaligus menjelaskan bahwa benar-benar telah terjadi praktek-praktek ilegal di tubuh Polri dan Ferdy Sambo adalah bosnya.
Jika Brigadir J menjadi whistle blower, Bharada E konon bakal muncul sebagai justice collaborator. Meski kuat dugaan, hal itu dilakukannya demi membela diri dari ancaman hukuman mati dan ancaman lain yang mungkin akan muncul dari luar hukum.
Menurut UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang atau telah terjadi. Dalam UU tersebut, whistle blower atau pelapor berhak mendapat perlakuan khusus. Misal, perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang timbul akibat tindakannya itu.
Bukan itu saja, pelapor pun berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, dirahasiakan identitasnya atau mendapat identitas baru, dan tentu saja sang whistle blower akan mendapatkan perlindungan hukum.
Pasal 10 Ayat 1 berbunyi, “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dijalankan secara hukum, baik pidana maupun perdata atas membuktikan dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan tersebut, kecuali membuktikan atau laporan tidak diberikan dengan itikad baik.”
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, terdapat syarat untuk menjadi whistle blower. Yakni, pihak tersebut merupakan sosok yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari kejahatan yang dilaporkannya.
Surat edaran ini juga memberi jaminan, jika whistle blower dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara terhadap laporan whistle blower akan didahulukan. Tuntutan hukum dari laporan terlapor tersebut wajib ditunda hingga kasus yang whistle blower laporkan telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah).
Maka dari itu, keberadaan Bharada E yang katanya menawarkan diri untuk menjadi justice collaborator menjadi penting untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK.
Catatan :
Penulis menduga, pada setiap entitas pemerintahan atau swasta yang menerima dana APBN atau APBD, baik langsung maupun tidak langsung memiliki sosok-sosok seperti Ferdy Sambo. Jika sampai hari ini kejahatan mereka tidak terbongkar, penulis rasa karena masih belum muncul sosok-sosok whistle blower. Hari ini sosok Polri diangkat oleh Brigadir J yang telah menjadi the whistle blower. Besok lusa mungkin saja pemerintahan atau pihak swasta yang akan memiliki whistle blower.
Penulis : Elang Salamina, Pemimpin redaksi AdaNews