AdaNews – Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin adalah ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia adalah ketua umum partai yang paling rajin mendeklarasikan diri sebagai Capres, meski selalu berakhir sebagai penggembira.
Sejak menjadi Ketua Umum Partai PKB, hanya di Pilpres 2009 Cak Imin tidak pasang target menjadi Capres. Pasalnya, yang bersangkutan langsung mendeklarasikan dukungan kepada petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Boediono.
Kendati begitu, menjelang Pilpres 2014, Cak Imin kembali rajin memposisikan diri sebagai Capres maupun Cawapres. Hal serupa dilakukan menjelang Pilpres 2019. Bahkan sudah banyak baliho yang menampilkan gambarnya sebagai Cawapres Presiden Joko Widodo.
Lagi-lagi, Cak Imin gagal menjadi Cawapres Jokowi, meski PKB sudah memberikan dukungan. Hanya saja, ia sempat membuat manuver ketika Jokowi terlihat akan menggandeng Mahfud MD yang sudah sempat fitting baju lengan panjang putih.
Cak Imin bersama Ketua Umum PPP (saat itu) Romahurmuziy dan Ketua PBNU (saat itu) KH Said Aqil Siradj menyebut Mahfud bukan kader NU. Aksinya membuahkan hasil, karena Jokowi kemudian “mengganti” Mahfud – kini Menko Polhukam, dengan KH Ma’ruf Amin.
Menjelang Pilpres 2024, Cak Imin tanpa ada capeknya kembali sibuk mempromosikan diri sebagai Capres PKB. Manuvernya lebih berani karena sempat mewacanakan Koalisi Semut Merah bersama PKS. Terakhir, ia menyebut siap menjadi Cawapres jika berkoalisi dengan PDIP.
Padahal sebelum bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Cak Imin sudah sangat yakin akan berpasangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang telah menyatakan kesiapannya menjadi Capres.
Bisa ditebak, ujung-ujungnya Wakil Ketua MPR itu tidak akan menjadi Cawapres siapa pun, apalagi Capres.
Mengapa Muhaimin Iskandar selalu gagal menjadi peserta kontestasi pilpres? Padahal, ia bukan politisi “kaleng-kaleng”. Kepiawaiannya dalam berpolitik telah teruji.
Faktor pertama, setelah berhasil menguasai PKB di tahun 2005 dan memenangkan rebutan nomor peserta Pemilu 2009 dengan Yenny Wahid, saat ini Cak Imin tercatat sebagai ketua umum partai pemilik kursi di DPR terlama setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Meski belum bisa mengembalikan kejayaan PKB seperti pada Pemilu 1999, Cak Imin setidaknya berhasil mempertahankan PKB sebagai partai medioker. Setelah terpuruk di Pemilu 2009 dengan perolehan 4,95 persen, pria kelahiran 24 September 1966 ini mampu memperbaikinya di Pemilu 2014 dan 2019. Di dua pemilu terakhir, PKB meraih 9.04 persen dan 9,69 persen suara nasional.
Saat ini PKB memiliki 58 kursi di DPR atau berada di urutan kelima. Jauh di atas Demokrat (54 kursi), PKS (50), PAN (44) dan PPP (19). PKB hanya kalah 1 kursi dibanding Partai Nasdem.
Ada asumsi Cak Imin dimanjakan oleh warga Nahdliyin yang tidak bisa berpaling dari PKB karena faktor sejarah dan kesamaan benderanya.
Sesuatu yang masih bisa diperdebatkan mengingat banyak juga kader NU yang menjadi kader partai lain seperti Nusron Wahid. Mantan ketua umum GP Ansor itu memilih berlabuh di Partai Golkar.
Hasil Pemilu 2024 dapat menjadi pembuktian Cak Imin setelah Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf melarang pengurus NU terlibat dalam politik praktis. Gus Yahya ingin mengembalikan marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang hanya mengurus umat dari sisi agama, pendidikan, dan ekonomi.
Atas sikap Gus Yahya, Cak Imin sempat memberikan reaksi keras dengan memajang kaos bertuliskan “NU Kultural Wajib Ber-PKB, Struktural Sakarepmu” di akun media sosialnya, medio Mei 2020.
Jika perolehan suara PKB di Pemilu 2024 tetap tinggi, minimal sama dengan Pemilu 2019, berarti PKB benar-benar sudah bisa “lepas” dari NU sekaligus membuka fakta adanya gap antara Nahdliyin akar rumput dengan pengurus organisasi (struktural).
Dengan keberhasilan PKB di Pemilu 2014 dan 2019, mestinya Cak Imin juga mendulang elektabilitas tinggi sebagai modal meraih asa di Pilpres 2024. Nyatanya hasil survei sejumlah lembaga, elektabilitas Cak Imin masih sangat rendah. Bahkan, ada lembaga survei menempatkan elektabilitasnya di bawah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang baru seumur jagung terjun ke politik.
Kecenderungan keterpilihannya yang rendah menjadi poin utama kegagalan Cak Imin menjadi peserta dua gelaran pilpres terakhir.
Faktor kedua, gestur Cak Imin terlihat inferior ketika berhadapan dengan ketua umum partai lain. Muhaimin terlihat belum bisa “setara” ketika berjumpa dengan SBY, Prabowo, terlebih Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tanpa wibawa dan aura kepemimpinan yang kuat, publik tidak yakin Cak Imin bisa ngotot untuk menggolkan agendanya menjadi Capres maupun Cawapres.
Faktor lainnya adalah kemungkinan Cak Imin sengaja menjadikan pencapresannya sebatas alat tawar (bargaining possition) kepada partai dan Capres lain untuk kepentingan berbeda. Artinya, ia tidak benar-benar ingin menjadi Capres maupun Cawapres.
Jika benar-benar ingin menjadi Capres atau Cawapres di Pilpres 2024, masih ada waktu bagi Cak Imin untuk berbenah, terutama menaikan elektabilitas. Dengan elektabilitas tinggi dan modal suara PKB, Cak Imin bisa menghapus status sebagai “penggembira pilpres”.
Tetapi menaikan elektabilitas bukan hal mudah bagi Cak Imin. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Antara lain :
Pertama, Cak Imin lebih senang menjadi bagian dari gerbong pemerintah. Dukungan yang diberikan kepada pemerintahan SBY dan kini Jokowi, seolah tanpa reserve. Contohnya dalam kasus revisi UU KPK, pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja, hingga kenaikan harga BBM baik di era SBY maupun Jokowi.
Kedua, Muhaimin tidak banyak melakukan manuver politik yang mampu membuka mata masyarakat. Manuvernya saat menggagalkan Mahfud sebagai Cawapres Jokowi, justru melahirkan sikap antipati dari pendukung Jokowi dan Mahfud.
Ketiga, masih ada Gusdurian yang belum bisa menerima Cak Imin. Tetapi mereka tetap memilih PKB karena dianggap warisan Gus Dur yang harus dijaga dan dibesarkan.
Keempat, banyaknya kontroversi yang diciptakan kader PKB di kabinet yakni Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas
Mereka dianggap sebagai “orangnya Muhaimin” sehingga setiap kontroversi yang terjadi berimbas langsung pada elektabilitas Cak Imin. Bukan PKB.
Penulis : Elang Salamina