Oleh : Elang Salamina

Kami tidak akan meninggalkan kota ini, apa pun yang terjadi. Kemiskinan bukan selalu karena kemalasan. Bisa jadi, tangan-tangan culas telah menutup rezeki kami dan merenggut kesempatan yang tengah diperjuangkan.
**
Aku berdiri di selasar hotel bintang lima. Mengenakan jas merah, rambut disisir rapi dan memakai sepatu mengkilap. Menatap jalanan yang sudah berbeda. Dahulu hanya ada dua lajur jalan, kini ada empat lajur dan jembatan penyeberangan di atasnya.
Kemajuan di kota ini kian cepat tapi satu sisi masih ada yang berjalan lambat. Di bawah jembatan penyeberangan, kulihat seorang anak bersandar pada tiang listrik. Di atas punggungnya, ia memikul karung berisi botol-botol bekas air mineral.
Pemandangan itu membawaku pada lamunan masa lalu. Di mana aku pernah terjebak pada kondisi yang sama. Mungkin lebih menderita menurutku atau biasa untuk orang lain. Pendapat orang berbeda, bukan?
Namun, saat itu aku tidak sendiri. Ada seorang gadis kecil bernama Dinar yang setia menemani. Dia tak punya siapa-siapa, sebatang kara serta mengurus diri sendiri sejak ibunya tiada. Kami biasa menyusuri jalanan dan pertokoan dengan membawa kantong plastik atau karung. Memungut barang apa pun yang dapat dijual kembali. Berjalan dari pagi sampai sore hari.
Kami sering menikmati sore yang dingin di atas trotoar, berbagi sepotong roti dan secangkir teh hangat. Kadang-kadang bertaruh, warna kendaraan apa yang paling banyak melintas? Kemudian, menertawakan hal-hal receh di tepi jalan.
“Kamu sudah bisa menulis dan membaca, Dimas?” tanya Dinar.
“Belum, tapi aku paham menghitung uang,” jawabku sedikit sombong. Bisa berhitung adalah sesuatu yang istimewa bagi kami anak jalanan.
Satu yang paling kuingat, dia sangat penyayang. Kondisi sulit, tak membuatnya pelit. Kehidupan yang keras, tidak membuatnya beringas. Pernah dia menyobek roti miliknya lalu diberikan kepada seekor kucing. Sayang, kucing itu hanya mengendus dan berlalu. Dia kemudian menatapku yang masih terlihat lapar, menyuapkan sisa roti itu ke mulutku.
Dinar gadis yang cantik. Mewarisi kecantikan ibunya. Nasib malang terjadi pada ibunya, karena kecantikannya itu. Bapaknya yang biadab sering menjualnya untuk sekedar membeli minuman keras. Oleh karena tidak tahan dengan perlakuan bapaknya itu, pada suatu malam mereka melarikan diri. Kemudian terlunta-lunta di jalanan Ibukota –menjadi pemulung. Sampai akhirnya ibunya sakit dan meninggal. Demikian cerita Dinar kepadaku pada suatu siang yang terik.
Paras Dinar yang cantik kusadari saat kami beranjak remaja. Diam-diam aku tertarik padanya. Sesuatu yang baru saja aku alami. Ada debaran-debaran aneh dalam dadaku, saat aku memandangnya. Hal yang sering kulakukan akhir-akhir ini, secara sembunyi-sembunyi.
“Dinar, bagaimana kalau kita pacaran saja?” Aku memberanikan diri mengungkapkan isi hatiku.
“Boleh, tetapi kau harus punya banyak uang, Dimas!” jawab Dinar sambil tertawa.
**
Deru sirine menenggelamkan lamunanku semakin dalam. Mengingatkanku pada sebuah peristiwa yang telah memisahkan kami untuk selamanya. Kebakaran hebat telah melahap seluruh pemukiman. Gulungan api berkobar-kobar, asap hitam dan teriakan-teriakan histeris.
Aku berlari mencari Dinar, dia lebih berarti dari rumahku yang terbakar. Namun, sampai tengah malam api belum juga padam. Gadis itu tak dapat kutemukan. Lemas dan pasrah, aku mengutuk peristiwa itu sampai hari ini.
Malam itu, aku merasa hidupku hancur. Kehilangan tempat tinggal, keluarga dan teman. Kehidupan memaksaku mendaki dari lubang yang lebih dalam lagi.
Dua tahun setelahnya, salah seorang bekas tetanggaku dahulu, memberi kabar bahwa Dinar masih hidup. Dirinya sudah pergi dari kota ini, sebelum kebakaran itu terjadi. Namun, semuanya sudah tak berarti. Menata ulang kehidupanku, jauh lebih penting saat itu.
Dinar memang pernah berkata, “Bila aku pergi dari kota ini, apakah kamu mau ikut?”
**
Denting bel berbunyi membuat lamunanku terhenti. Resepsionis memintaku melepas tamu-tamu yang selesai melaksanakan seminar. Bell boy baru hanya ditugaskan di selasar hotel. Membuka dan menutup pintu mobil, serta membawakan barang-barang.
Mobil mewah berwarna putih ini pasti milik pengisi acara. Mobil terakhir dari peserta seminar. Kulihat sopirnya memakai pakaian safari. Aku menerka, pemiliknya bukan orang sembarangan. Entah pejabat, artis atau konglomerat.
Dari arah lobby hotel, kulihat seorang perempuan berjalan dikawal dua orang berbadan tegap. Ia sungguh anggun dengan dress formal biru tua. “Oh Tuhan, itu Dinar!” batinku berteriak.
Kecantikannya tak berubah. Malah kian bertambah dengan pakaian mewah. Mana bisa aku lupa … hidung mancung, mata bening dan bibir tipisnya.
Berkali-kali kuusap mata, dia memang benar-benar Dinar. Degup jantungku tak dapat menyembunyikan rasa senangku. Tubuhku gemetar, air mata menunggu tumpah. Namun, seketika timbul keraguan dalam hatiku. Dia sudah jadi orang kaya sekarang. “Apa yang harus kulakukan?” tanyaku dalam hati.
Kubuka pintu mobilnya, kutatap Dinar dan berharap dia menyapa. Hingga semakin dekat dan aku kecewa. Dinar benar-benar sudah lupa padaku. Kedua bola matanya, bahkan tak sempat melirik ke arahku. Pintu tertutup dan mulutku terkunci.
Ribuan pertanyaan menghantam kepala. Benarkah kekayaan dapat mengubah sifat seseorang? Benarkah semua kenangan masa lalu dapat terhapus semudah itu?
Dengan perasaan kesal, aku kembali ke tempatku –depan lobby hotel. Menanti kedatangan tamu-tamu lain. Memasang senyum kembali dan terpaku. “Mungkin masa lalu terlalu pahit untuk kau ingat, Dinar!”
Dari meja reseptionis, kudengar seseorang memanggilku. Biasanya, hanya denting bell berbunyi. Kuberlari dan menghampiri lelaki berjas hitam –manajer hotel ini.
“Dimas, ini ada titipan amplop dari tamu barusan. Dia bilang, kamu saudaranya.”
“Dinar,” desisku. “Maafkan aku … sudah berburuk sangka terhadapmu.
Sumedang, 16 Mei 2022
Bionarasi

Elang Salamina disamping sebagai Jurnalis dia juga sebagai penulis politik di Kompasiana, dan sekaligus sebagai Kompasianer terpopuler 2020 dan penulis beberapa cerpen di Adanews.
Terima kasih, sudah meramaikan rubrik ini, Kang 🙏🙏