CINTA DI JEMBATAN JEMALA

0 0
Read Time:5 Minute, 27 Second

Cerpen Jenny Seputro

Pagi itu aku terlambat bangun. Kalau sampai ketinggalan bus pukul setengah delapan, aku harus menunggu setengah jam. Padahal ada rapat penting yang tidak bisa kulewatkan. Setengah berlari kususuri trotoar di pinggir Jembatan Jemala. Halte bus tempatku naik ada di tengah-tengahnya. 

Jembatan Jemala adalah jembatan terpanjang yang menghubungkan dua belahan kota yang terpisah oleh dua buah sungai. Karena lokasinya yang demikian, beberapa halte bus tersebar di sepanjang jembatan. Bus ke segala jurusan harus melewati tempat itu untuk menuju belahan kota yang lain. 

Aku tiba di halte tujuan dengan napas terengah-engah. Aku memang tidak biasa lari pagi. Untung belum terlambat. Kurapikan kemeja dan dasi. Lalu, aku duduk di halte sambil mengatur napas. 

Di seberang jalan, ada halte lain tempat bus yang datang dari arah berlawanan. Di halte itu duduk seorang wanita dengan rambut hitam lurus sebawah bahu. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Sudah lama aku melihatnya di situ setiap pagi. Dia selalu datang lebih awal dariku dan bus yang ditumpanginya tiba lebih siang. Karena itu aku tidak pernah tahu arah tujuannya. Beberapa hari ini perhatianku tertuju padanya. Ada sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya. 

Keesokan harinya, aku kembali memperhatikan gadis di halte seberang. Dia selalu memakai jaket hijau lumut yang sama, terlihat hangat membungkus tubuhnya yang ramping. Sepatu boots hitam di bawah lutut terlihat manis di kakinya. Hari itu, tiba-tiba dia melihat ke arahku. Kami bertatapan sejenak. Kusunggingkan sebuah senyum dan dia membalasnya. Untuk memastikan dia tersenyum kepadaku, kulambaikan tangan. Ternyata dia balas melambai. Hatiku girang bukan main. 

Hari berikutnya aku sengaja datang lima belas menit lebih pagi. Aku ingin menemui gadis itu dan berkenalan dengannya. Benar saja dia sudah ada di situ. Dia tersenyum melihat kedatanganku. 

“Hai,” sapaku sambil mengulurkan tangan. “Boleh kenalan? Namaku Robin.”  

“Karlita,” jawabnya sambil menjabat tanganku. 

“Tanganmu dingin.”

“Iya, pagi begini anginnya dingin,” jawabnya sambil merapatkan jaket hijaunya. 

Itulah awal perkenalan kami. Sejak hari itu, setiap pagi aku berangkat lebih awal, supaya aku bisa mengobrol dengan Karlita. Tak lagi kulihat wajah murungnya. Setiap hari dia tersenyum gembira menyambutku. Kami bicara tentang berbagai hal. Pekerjaan, hobi, impian yang belum kesampaian, juga masa lalu. Kami pernah disakiti karena cinta dan sama-sama trauma untuk memulai cinta yang baru. Namun, bersama Karlita, rasa itu perlahan pudar. Kurasa aku siap untuk mencinta lagi.

“Kasihan temanku, Mas,” kata Karlita suatu hari. “Dia dihamili pacarnya, lalu ditinggalkan begitu saja.”

“Ah, banyak sekali laki-laki berengsek,” sahutku kesal. Sebagai laki-laki, aku malu setiap kali kaumku bertingkah seperti binatang begitu. 

“Apa yang akan kamu lakukan kalau telanjur menghamili pacarmu, Mas?”

Aku tertawa. “Pertama, aku tidak akan sebodoh itu untuk menghamili gadis yang belum kunikahi. Kedua, kalaupun sampai terjadi, tentu saja aku akan menikahinya. Hal seperti itu sudah tidak perlu dipikir lagi.”

Karlita tersenyum, sepertinya puas dengan jawabanku. Pagi itu mendung, matahari bersembunyi di balik awan. 

“Kamu tahu, Mas,” katanya lagi, “saat matahari enggan bersinar, sebenarnya dia telah menitipkan cahayanya kepada rembulan.”

Aku tersenyum. Walaupun tidak begitu kumengerti maksudnya, kata-katanya terdengar romantis. Kurasa aku sudah benar-benar jatuh cinta. Aku ingin memintanya jadi pacarku. Sabtu besok, aku akan mengajaknya berkencan. Saat itu akan kuutarakan isi hati. 

“Boleh aku mengajakmu makan malam besok, Ta?”

“Ya,” jawabnya mantap. “Mas bisa jemput ke rumahku?”

“Tentu saja. Di mana alamatmu?” Kuambil ponsel dan kubuka aplikasi catatan. Karlita mendiktekan alamatnya. Tidak begitu jauh dari rumahku. “Baiklah, sampai ketemu besok.”

Pagi itu kami berpisah dengan hatiku berbunga-bunga. Tak sabar rasanya menanti kencan pertama kami. 

Hari Sabtu pukul empat sore, aku sudah berdiri depan pagar rumah Karlita. Kupencet bel dan tak lama wajah manis itu muncul. 

“Mau cari siapa, ya?” tanyanya. Suaranya serak, sepertinya dia agak batuk. Sandiwaranya bagus sekali, wajahnya sama sekali tidak tersenyum.  Benar-benar seperti orang tidak kenal.

“Ayo, sudah siap belum?” 

“Kamu siapa? Mau cari siapa?” 

“Sudah, jangan bersandiwara terus. Ayo, cabut.”

Si cantik yang tiba-tiba jutek itu berbalik hendak masuk kembali ke rumah. Sepertinya dia menganggapku orang gila.

“Karlita!” panggilku. 

Wanita itu membeku di tempatnya. Perlahan dia menoleh, wajahnya pucat.

“Siapa katamu?”

“Karlita, ini aku, Robin. Ada apa denganmu?”

“Aku bukan Karlita. Aku Karlina, kembarannya,” jawabnya. 

Gantian aku yang tertegun. “Oh, maaf, dia tidak pernah cerita punya saudara kembar.”

“Tunggu sebentar,” kata Karlina. Dia masuk dan tak lama kemudian keluar lagi dengan memakai kaus tangan panjang dan celana jeans. Sebuah tas tangan menggantung di bahunya. 

“Ayo,” ajaknya.

“Ke mana? Mana Karlita?” tanyaku bingung.

“Bawa aku ke tempat kalian bertemu.”

Aku tidak mengerti maksudnya. Namun, aku menurut saja. Dalam mobil kami hanya diam. Kuparkir mobil di kaki jembatan, lalu kami berjalan menyusuri trotoar hingga sampai ke halte bus di tengah-tengah.

“Aku biasa bertemu dengannya di sini,” kataku. “Setiap pagi sebelum kami berangkat kerja.”

Karlina bersandar di pagar jembatan sambil menatap arus sungai yang deras di bawahnya. Air mata meleleh di pipinya. 

“Ini tempat dia melompat ke bawah sana, hampir dua tahun yang lalu,” katanya lirih.

Bulu kudukku meremang. “Apa katamu?”

“Karlita bunuh diri setelah tahu dirinya hamil, tapi pacarnya justru meninggalkannya.” Dia terdiam, sebelum melanjutkan, “Bukannya membela, Papa justru mengusirnya. Katanya, Lita bikin malu keluarga.”

Kubiarkan gadis di hadapanku menangis sementara aku berusaha memercayai kata-katanya. 

“Bagaimana dia menunjukkan dirinya kepadamu?” tanya Karlina lagi.

“Dia selalu memakai jaket hijau lumut dan sepatu boots di bawah lutut.”

“Ya, itu yang terakhir dipakainya. Seperti itu saat tubuhnya ditemukan.” Ditatapnya wajahku lekat-lekat. “Dari mana kau tahu alamatku?”

“Lita yang memberikannya. Kurasa dia ingin aku bertemu denganmu.”

“Kau tahu, Robin, saat matahari enggan bersinar—”

“Sebenarnya dia telah menitipkan cahayanya kepada rembulan,” potongku cepat. 

Karlina menggigit bibir dan tangisnya pecah. Ingin rasanya kurengkuh tubuhnya dalam pelukan, tetapi kami baru saling mengenal. 

“Itu kata sandi rahasia kami berdua,” katanya di sela isak. “Tidak ada orang lain yang tahu. Kalau dia memberitahumu, berarti dia sungguh percaya kepadamu.” 

Setelah itu aku mengantar Karlina pulang. 

Hari Seninnya, Karlita tidak duduk di halte seberang. Begitu pula hari-hari berikutnya, aku tidak pernah melihatnya lagi. Di hari Sabtu, seminggu setelah mengenal Karlina, kuminta gadis itu menjadi kekasihku. Aku yakin itu pula yang diinginkan saudara kembarnya.

Wellington, 19 Juni 2022

Bionarasi:

Jenny Seputro, penulis asal Jakarta yang berdomisili di Wellington, New Zealand. Telah menerbitkan satu novel duet (Cassandra), dua novel solo (The Last Candidate dan The Missing Footprint), dan yang ketiga (Silent Dreams) sedang dalam proses dengan Penerbit Mizan. Karya-karyanya telah dibukukan dalam lebih dari 30 antologi.

Penulis dapat dihubungi melalui:

Email: jenny.seputro@gmail.com

Facebook: Jenny Seputro

Instagram: @jennyseputro

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

One thought on “CINTA DI JEMBATAN JEMALA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: