Iluatrasi
AdaNews – Sebelum membahas lebih jauh tentang pokok bahasan judul di atas, izinkan penulis bercerita sedikit pengalaman waktu sekolah di tingkat SLTP.
Kala itu hari libur, penulis dan beberapa kawan satu sekolah sedang asik bermain kerambol. Tiba-tiba saja dari kejauhan tampak salah seorang guru, entah mau kemana. Kontan, penulis dan beberapa teman lain kabur. Berupaya jangan sampai kelihatan oleh beliau.
Kenapa? karena dalam diri kami masing-masing tersimpan perasaan campur aduk. Takut, segan, malu dan lain sebagainya. Bagi kami, guru tak ubahnya manusia super yang memang layak ditakuti dan disegani.
Ya, memang patut diakui, dulu guru memiliki kedudukan istimewa di hati para peserta didik dan masyarakat. Dawuhnya ditaati, pendapatnya didengar, dan perilakunya ditiru. Tetapi akhir-akhir ini sepertinya mulai memudar.
Dalam amatan penulis, setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan marwah guru ini memudar.
Pertama, kerap terjadinya pola hubungan antara wali siswa dengan guru yang transaksional, bukan mitra dan partisipatif. Disangkanya dengan membayar sekian dana dari pribadi atau negara, wali siswa berkuasa memesan produk pendidikan (anak didik) sesuai selera mereka yang rigid. Persis seperti dua orang yang bertransaksi jual beli.
Kondisi ini diperparah dengan adanya anggapan di masyarakat bahwa sekolahlah yang membutuhkan anak didik. Pasalnya, jika jumlah siswa tidak memenuhi standar, maka sebuah sekolah akan digabung (regrouping) dengan sekolah lain. Regrouping ini pasti menimbulkan korban, seperti seorang atau beberapa guru yang tidak akan mendapatkan tunjangan profesi guru (sertifikasi) karena jam mengajarnya kurang dari 24 jam per minggu.
Tidak mengherankan apabila di awal tahun pelajaran, kerap marak dan gencar pihak sekolah terutama yang berada di pinggiran dan swasta mencari (lebih tepatnya membeli) calon siswa. Misalnya, tawar-menawar dengan “harga jual” dengan para wali calon siswa. Dan, maaf. Para makelarnya itu leluasa menantang, “Wani piro?” Anak-anak sudah dijadikan “barang dagangan” yang berakibat pada rendahnya marwah guru (sekolah) di mata masyarakat.
Kedua, UU HAM dan UU Perlindungan Anak bisa menjadi bumerang jika penerapannya tidak arif dan bijaksana. Ada fenomena di suatu daerah, guru-guru terkesan membiarkan siswanya. Mereka hanya masuk kelas, mengabsen dan mengajar. Selesai. Bukannya tidak mau mendidik siswanya lebih baik, tetapi mereka takut dilaporkan wali siswa ke polisi sebagaimana teman-teman mereka alami. Jika demikian, siapa yang dirugikan? Jelas siswa, wali siswa dan masyarakat.
Dulu, saat anak mengadu karena dihukum, walinya pasti membela guru. Bahkan, biasanya mereka akan menambah hukuman bagi anaknya. Mereka sadar bahwa guru melakukan tindakan hukuman itu demi memotivasi anak didiknya lebih baik dalam belajar dan akhlak perilakunya.
Bandingkan dengan realitas akhir-akhir ini.Tahukah para pembaca, bahwa pernah ada guru yang digunduli oleh wali siswa gara-gara memotong rambut anak didiknya demi kerapian, bahkan ada yang mendekam di tahanan? Pernahkah Anda membaca berita seorang guru olahraga yang ditahan kepolisian karena dikabarkan mencubit siswanya? Dan pasti masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang menimpa seorang guru. Tentunya kita tidak ingin “Orang tua yang anaknya tidak mau ditegur guru di sekolah, silahkan didik sendiri, bikin kelas sendiri, bikin rapor dan ijazah sendiri” benar-benar terjadi.
Ketiga, kontrol hukum dan pelaksanaannya yang tidak berimbang. Agaknya, jika ada indikasi pelanggaran terhadap HAM dan perlindungan anak, maka banyak pihak yang akan membela.Tetapi, adakah yang akan melindungi guru yang terpaksa bertindak kasar tanpa melukai untuk kebaikan anak didiknya?
Maka, tidak berlebihan kiranya pernah ada PGRI di salah satu provinsi menuntut adanya Undang-Undang Perlindungan Profesi Guru (UU PPG). Tujuannya, jika ada persoalan di sekolah dapat diselesaikan lebih dulu di tingkat sekolah atau dewan guru.
Sebenarnya perlindungan hukum bagi guru sudah ada, yakni PP. No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Di pasal 39 ayat 1, misalnya, dijelaskan tentang kebebasan guru untuk memberikan sanksi kepada peserta didik karena melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, peraturan tidak atau tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.
Mengenai sanksi kepada peserta didik, dalam ayat 2 di pasal 39 itu disebutkan bahwa sanksi itu bisa berupa teguran dan atau peringatan yang tidak atau tertulis, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugasnya dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 40). Dengan demikian, guru mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (Pasal 41).
Seharusnyalah, PP. No. 74 Tahun 2008 tentang Guru ini diindahkan oleh siswa, wali siswa, penggiat perlindungan HAM dan Perlindungan Perempuan dan Anak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, media massa, para steakholder kependidikan serta masyarakat.
Keempat, guru (PNS) sebagai abdi negara bisa saja disalah tafsirkan. Jika pemahaman wali siswa tentang hal ini tidak holistik dan komprehensif, maka jangan-jangan ada anggapan bahwa para guru itu adalah abdi dalam arti budak, buruh, dan pembantu, yang boleh diperlakukan dan dituntut kerja seenak udel dan semau gue. Terlebih ketika anaknya yang dalam pandangan wali siswa itu sebagai anak majikan diperlakukan sedikit kasar dalam rangka pembinaan, mereka memprotes dan mengadukan guru ke kepolisian.
Jika demikian, sudah semestinya perlindungan hukum terhadap HAM, anak dan guru sama-sama ditegakkan, serta ada kesepahaman antara guru, wali siswa, dan masyarakat. Sebab, jika salah satunya bermasalah pasti proses pendidikan anak berjalan pincang dan tertatih-tatih.
Kelima, ini mungkin yang lebih kurang mengenakan untuk dibahas. Tapi, realita kerap terjadi di lapangan. Yakni, kapabelitas guru yang memang masih banyak di bawah rata-rata. Guru yang sejatinya digugu dan ditiru, acap kali berlaku tak sepatutnya. Misal, tak sedikit guru yang terang-terangan berbuat tak senonoh, baik itu dalam ucapan atau perilaku.
Lalu, boleh jadi guru-guru yang ada di zaman sekarang minus ilmu. Padahal, sejatinya guru dituntut untuk sempurna. Meski memang tidak ada manusia yang sempurna, namun yang perlu ditekankan adalah kualitas guru. Guru harus bena-benar memiliki kapasitas ilmu dan terus menggali wawasan serta pengetahuan.
Diakui atau tidak, salah satu faktor memudarnya marwah guru di zaman now yaitu masih banyak terjebak pada pola ajar tekstual atau textbook. Mereka bekerja seolah melakukan kewajiban semata. Tak ada niatan untuk mengembangkan diri agar menjadi guru yang berwawasan luas serta berkarakter.
Lalu, bagaimana cara mengembalikan marwah guru? tentu saja kuncinya harus dimulai dari guru itu sendiri. Mereka harus mampu memahami bahwa perubahan itu suatu keniscayaan. Dalam hal ini, guru setidaknya sudah harus mulai merubah pola didik. Bukan saja tekstual, tapi perlahan coba dengan cara-cara konstekstual. Bahkan, bila mampu guru juga dituntut bekerja secara konseptual.
Apa itu tekstual, kontekstual dan Konseptual? Mungkin akan penulis bahas pada kesempatan berikutnya, ya ! (He .. He .. He).
Kembali ke laptop. Kita tak perlu menutup mata, memang tak sedikit guru sudah tidak bersemangat lagi untuk meningkatkan kualitas diri, sehingga motif pembelajarannya monoton.
Di lain pihak, insting anak sekolah zaman now justru mayoritas sangat kritis. Belum lagi pertumbuhan media menjadikan informasi pengetahuan cepat sampai kepada mereka. Apabila guru tidak mampu mengimbangi kemajuan zaman, maka jangan salahkan bila tidak mendapat tempat untuk dihormati, apalagi bagi guru yang sudah dikenal malas serta banyak kekeliruan dari kemampuannya.
Alasan kelima di atas tentu baru dilihat dari sudut pandang teknis kemampuan mendidik. Menurunnya marwah guru di mata siswa bisa juga datang dari segi non teknis. Misalnya saja seorang guru tidak konsisten.
Guru yang tidak konsisten dalam sikap biasanya akan memberikan dampak buruk bagi citra sekolah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan menjatuhkan harga diri guru lainnya. Contoh, pihak sekolah misalnya menerbitkan aturan terkait kebijakan, namun ternyata pelanggar aturan tersebut justru malah datang dari guru itu sendiri.
Contoh lain, misalkan hari ini guru memberikan hukuman bagi murid yang melanggar aturan, tetapi esok harinya membiarkan murid lain yang melakukan pelanggaran serupa. Guru-guru seperti ini banyak kita temukan di daerah kota sampai pedesaan.
Pada akhirnya, guru yang tidak konsisten dari ucapan atau tindakannya akan berdampak buruk di mata para murid. Tidak jarang siswa yang kesal memberikan tindakan fisik kepada guru yang tidak konsisten tersebut dengan motif bahwa hal tersebut tidak adil, pilih kasih, malas atau alasan lainnya.
Mungkin itulah sebagian alasan kenapa citra atau marwah guru belakangan ini kurang begitu di hargai dan dihormati. Akhirul kata, Yuk, kita sama-sama jadikan kembali guru sebagai profesi bermartabat, wali siswa terhormat, masyarakat berharkat dan para siswa yang tidak banyak adat. Salam !
Penulis : Elang Salamina
Referensi : PP No 74 Tahun 2008 tentang Perlindungan Guru