Jakarta Akhirnya “Ada yang Positif”

0 0
Read Time:3 Minute, 38 Second

AdaNews.id-Dengan segala kerendahan hati dan penuh keprihatinan, mohon maaf, dan bagi keluarga semoga mendapatkan ketabahan, dan bagi yang masih menderita agar mendapatkan jalan dan perawatan terbaik. Tentu bukan hendak menertawakan atau bersyukur atas kejadian tragis di Jakarta. Hanya mau menyatakan, bahwa covid bisa menyasar siapa saja dan apapun jabatannya.

Jika saja mau setia, mendengarkan anjuran pemerintah dengan tetap pada protokol kesehatan, bukan malah membuat antitesis dan kemudian menciptakan apa yang sebenarnya larangan. Jangan pernah lupakan, bagaimana pembatasan bis dan armada, di tengah aktivitas kerja belum diubah. Ini fatal, belum lagi kerumunan demi kerumunan yang diciptakan.

Narasi asal berbeda dengan pusat, hanya soal istilah, padahal kinerjanya tidak jelas. Rasanya mau mengucap syukur yang kencang mendengar gubernur ikut terjangkit dan dinyatakan positif covid. Menyusul almarhum sekda yang sudah mendahului dan menjadi korban keganasan virus ini. kemarin, wagub dinyatakan positif, dan bercanda dengan beberapa teman dan grup, kapan bosnya ikutan?

Sekali lagi, konteksnya bukan untuk mendoakan bahwa ia terjangkit. Namun bagaimana pembelajaran yang paling manjur adalah pengalaman. Sama juga dengan orang jatuh cinta pada pribadi yang salah, nasihat apapun akan mental, dan ketika tahu menjadi korban PHP baru menyesal, mengaku kapok, dan akan berhati-hati.

Tampilan tanpa masker dan interaksi tanpa jarak. Sering tertangkap kamera dan menjadi bahasan publik, terutama warga net. Photo-photo ketika bercengkerama dengan almarhum sekda, mereka tidak terlindungi, almarhum maskernya di dagu, gubernur tanpa masker, wagub bermasker dan berjarak. Paparan yang sangat mungkin.

Datang pada acara di Petamburan. Ribuan orang datang dengan protokol kesehatan yang sangat rendah. Potensi bersinggungan dengan banyak pihak, jadi terlena dan tidak waspada sangat mungkin. Bersalaman, berpelukan, dan sangat terbuka kemungkinan cipika-cipiki. Jarak dan interaksi yang jauh dari standar protap kesehatan.

Kepercayaan yang mengakui hukum karma mungkin akan mengatakan ini adalah hukum karma. Hukuman, kalau saya sih menilai ini adalah konsekuensi atas perilaku ugal-ugalan. Kesembronoan yang harus dibayar mahal dan itu lagi-lagi negara yang harus menanggungnya.

Tidak lagi penting mau dari klaster mana, mau pemda, atau Petamburan itu tidak lagi menjadi yang penting, namun bagaimana perilaku ngaco itu perlu dikurangi. Pemimpin itu tindakannya menjadi sorotan publik. Harusnya, atau idealnya adalah yang baik-baik, menyejukkan, bukan yang memprovokasi dan sensasi semata.

Guyonan yang tidak pada tempatnya, ketika banyak komentar mengatakan akhirnya ada yang “positif” dari Jakarta. Di satu sisi itu adalah fakta, bagaimana selama ini Jakarta adalah Ibukota Negara yang menuju pada titik nadir kemandegan, jika tidak berlebihan dinyatakan sebagai mundur malah. Stagnan, hingar bingar penghargaan yang akhirnya terkuak kebenarannya. Jauh lebih meriah tertawaan pemborosan anggaran dengan nol hasil.

Positif pun dalam konteks negatif. Bagaimana ada tiga unsur pimpinan tertinggi birokrasi terdampak pandemi semuanya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Hal yang amat serius, bagaimana pelayanan publik bisa berantakan.

Perlu diingat kembali, bagaimana ia melakukan tindakan gegabah, sok-sokan PSBB kembali dan ekonomi sempat anjlok, dengan enteng ia merasa benar dan baik-baik saja. Apakah ini juga kengawuran yang sama atau malah ini adalah upah atas kengacoannya selama ini? Semua masih terbuka dengan lebar.

Ia baru saja mengangkat menjadi “orang” kepercayaan dari pecatan karena “membiarkan” kerumunan di Petamburan. Pertanggungjawaban moral pemimpin yang nol besar seperti ini, mau apa dan mau dibawa ke mana provinsi yang sempat bagus itu? Ya ke ujung kesuraman jika tidak hati-hati.

Angka-angka memang di atas kertas. Namun ketika tiga sosok tertinggi di kawasan itu terdampak semua, berarti memang tidak berjalan atau tidak ada keseriusan untuk mengatasi. Jawa Timur sempat tinggi, sangat tinggi, namun bisa mengatasi dan menangani, dan kini relatif baik. Jakarta ini tidak pernah menurun, malah menciptakan, membiarkan dan cenderung mengumpulkan massa dengan sengaja.

Ada Petamburan, demo UU Cipta Kerja, demo Perancis, dan aneka aktivitas yang berkerumun. Tidak melakukan tindakan apa-apa, malah ada seolah kesengajaan seperti membagi sembako, mengurangi armada, dan lebih ngeri lagi, penghormatan pada almarhum sekda di balaikota. Jelas-jelas ia melanggar protap yang seharusnya ia kawal dengan baik.

Nasi telah menjadi bubur. Jakarta menyumbang hal “positif”, dan sekali lagi rakyat harus nombok atas perilaku ngaco pemimpin yang satu itu. Politisasi pandemi yang sangat mahal, dan itu semua anak negeri ikut menjadi korban. Demi ambisi pribadi dan kelompok, semua harus menanggung risiko dan biayanya.

Berapa banyak uang bisa dipakai untuk hal yang lebih berguna, jika saja mau berhati-hati. Hal yang seharusnya bisa diatasi namun malah dibiarkan, hal yang bisa diperhatikan malah diabaikan, dan semua ada konsekuensi yang harus ditanggung.**Susy Haryawan

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: