JANGAN UCAP ITU, PA!

0 0
Read Time:7 Minute, 11 Second
Cerpen karya Dialin

“Papa tetap tidak setuju kalau Jeane sama Feritz! Jeane harus nurut! Ini semua Papa lakukan untuk kebaikan kamu. Papa akan menjodohkan kamu dengan laki-laki yang tepat segera! Sebelum kalian bertindak bodoh!!”

Ya Tuhan … semoga papah mau berubah pikiran, setelah mama mendekat lalu meraih lengan kokohnya.

“Aku akan merestui hubungan Jeane dengan siapa pun selain Feritz! Pengangguran atau PRE-MAN SE-KA-LI-PUN asal mau menyayangi putriku tulus, akan aku izinkan dia menikahi putriku! Tapi tidak untuk Feritz!”

“Tapi ….”

“Tidak ada tapi-tapian! Tidak untuk Feritz! Titik!” Tega sekali papah membentak, dengan wajah yang memerah padam pula.

Mengapa papah takmau mengerti? Apa papah tak pernah jatuh cinta? Sedih, lagi-lagi aku hanya bisa membatin. Aku tidak mau jadi anak yang kuwalat.

Ow … God, dadaku sesak. Kenapa sesakit ini? Tidak ada yang mengerti. Cinta telah membuat separuh jiwaku hilang, dan lenyap karena angan dan ego. Padahal tidak mudah mendapatkan laki-laki seperti Feritz.

Sedih, saat seperti ini, malah teringat Kenangan manis bersamanya. Tiga tahun menjalin kasih, dia selalu ada saat kubutuhkan. Kasih sayang, perhatian dan kenyamanan yang selalu dia beri, takbisa aku kubur begitu saja. Sekalipun kedua orangtua tidak merestui.

Feritz, aku masih mengeja namanya di setiap embus napasku, lalu mengukir namanya di sudut hati agar tak pernah hilang dari ingatan.

Berputar pada persimpangan yang tak dapat dipilih akan lebih melelahkan. Terbunuh oleh luka keegoisan pun bukan sebuah pilihan.

Hidup memang tak menawarkan hitam, tetapi tak memberi warna lain untuk menukar sesuatu yang berharga.

Jika kesadaran itu terbuka, bahkan telah membuatku terjerembab ke dasar jurang sekali pun, itu adalah sebuah konsekuensi.

Tak perlu perpanjangan waktu. Jika ingin berhenti maka langkah ini akan kupaksa istirahat sejenak demi kekuatan baru.

Argh! Sudahlah. Aku hanya ingin pergi dari rumah. Aku benci perjodohan! Hanya Feritz yang aku mau. Naif, bukan? Tapi memang hanya itu yang kumau.

Entah sudah berapa jauh berjalan. Aku taksadar hanya menggunakan baju tidur, dan sepasang sandal rumah yang berbulu. Itu pun sudah basah kuyup. Tanpa ponsel ataupun uang sepeser pun.

Jalanan temaram semakin mencekam, saat suara binatang nokturnal saling bersahutan, menyapa hujan di tengah malam buta.

Byurr!

Sial banget! Tubuhku malah tersiram air genangan oleh motor yang melaju.

Argh! Ingin menjerit sambil berteriak dengan keras, melampiaskan amarah yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Gatal lidahku ingin mengucapkan sumpah serapah. Namun, hanya mampu duduk memeluk lutut. Tak kupedulikan lengan baju yang basah menyisakan noda lumpur.

Tak ada yang mau mengerti. Mereka terlalu egois, tanpa memikirkan perasaanku. Bahkan, basah ini, belum seberapa dibanding rasa cinta yang harus kubunuh. Wahai Alam … apakah luka-ku adalah sesuatu yang membuat kalian menari? Sehingga kalian memperlakukanku seperti pecundang seperti ini? Argh!!

“Woy … Dugong! Kalau nyetir liat-liat donk! Bisa nyetir nggak, sih! Mending balik aja ke laut, belajar nyetir lagi sono ke dasar laut! Dasar dugong, gara-gara lo, gua jadi mbanjur cewek, kan! Argh … sini lo!”

Apalagi ini? Laki-laki pengendara motor itu malah berteriak-teriak, meneriaki pengemudi mobil yang sudah berlalu. Suaranya saja parau bercampur air hujan.

Masa bodoh dengan ulahnya! Aku masih ingin meratapi nasib cintaku. Takpeduli orang akan mengataiku naif atau apalah, tetapi aku memang tidak bisa menghapus Feritz!

“Mbak, eh … Neng … eh, Dik,” panggilnya mendekat padaku.

“Aduh! Gua nggak tahu harus manggil apa. Ehem … umur lo berapa?”

Kurasa dia berjongkok di dekatku. Aku bisa merasakan jemarinya menyibak rambutku yang tergerai kuyup. Mau apa lagi dia? Kalau saja aku masih kuat, ingin sekali aku menghajar kekurang ajarannya.

“Eh, salah lagi. Maksud aku, apa ada yang sakit? Duhh … gimana ya? Ehem … oke, oke. Gini aja. Aku beliin baju ganti, ya? Tapi di pasar saja, ya? Jangan yang mahal-mahal, uangku nggak cukup kalau disuruh beliin baju yang mahal. Mau, ya? Ehem, maaf nih. Lo tuh nangisin baju lo yang kotor, apa baru putus sama pacar lo, sih? Eh, kok jadi lo, ya. Maksud aku, kamu.” Rentetan kalimatnya semakin menyulut emosiku.

Blustering my ear’s drums! Shit!

Aku muak mendengar celotehannya yang garing. Aku tidak menjawab, justru meninggikan volume tangisan, membuat laki-laki itu semakin kebingungan. Akan tetapi, sepertinya aku mulai mengenali suaranya.

“Eh … bagaimana ini, masa iya aku harus peluk dia biar nangisnya berhenti. Kalau cantik sih nggak apa-apa. Nah, kalau enggak … kan zonk,” Dia bergumam lirih, tapi masih terdengar olehku. Ingin aku menampar mulut ombrengnya, tetapi hanya sebatas ingin.

“Ah … bodo amat yang penting dia diem dulu. Masalah zonk enggaknya itu urusan belakangan. Sudah, jangan nagis lagi,” Ia memelukku, tapi kurasa ia mencoba menenangkanku. Ingin aku berontak tapi raga menolak. Hanya bisa pasrah karena lelah. Terserah.

“Kenapa malah jantung aku yang mau lari ya?” Hey … aku masih bisa mendengarnya! Dasar manusia aneh!

Benar-benar tidak bisa menyaring kata-kata yang keluar dari mulutnya. Owgh … dia jauh berbeda dengan Feritz. Tuhan, maafkan aku yang sudah membanding-bandingkan. Akan tetapi memang tidak ada yang sesempurna Feritz, dimataku.

“Gavinnnnnn!! Bisa diam nggak sih kamu!” Argh! Aku sudah tak sanggup lagi menahan diri.

Kuhentak tangan, saat mengenali suara siapa yang telah membanjur dengan air genangan jalan. Oww … shit! Ternyata dia.

“Non … Non … Jeane!!” Astaga, laki-laki yang kupanggil dengan nama Gavin itu gelagapan, melihat aku yang sedang dipeluknya. Malah terlonjak mundur, hingga terjerembab ke genangan juga.

Gavin, dia adalah mantan sopir kantor papah. Pantas papah memecatnya dua tahun yang lalu. Kelakuannya saja seperti ini. Dari aromanya, sepertinya dia juga sering mabuk.

“Non … Non … Jeane kenapa seperti ini?” Pantas saja jantungku lompat-lompat, ternyata Non Jeane yang aku peluk. Maaf, Non,”

Haha … lihat wajahnya saat mengucap penyesalan itu. Lumayan menghiburku. Aku tahu, dia tak seburuk penampilannya. Walaupun gondrong dan penuh tato, tetapi sedari dulu dia sopan padaku. Hingga aku tak merasa was-was, saat dia memapahku ke sebuah warung di pinggir jalan yang sudah tak terpakai.

Sedari pagi belum ada makanan yg masuk ke perutku. Hujan yang semakin deras membuatku menggigil, karena menahan lapar dan dingin.

Oh My Goodness? Dia malah membuka kaosnya! Owh … roti sobek itu seperti pahatan yang sempurna. Apalagi dihias lukisan naga di perutnya sampai dada bidangnya. Nggak aku pungkiri, sih. Keindahan itu mengalihkan duniaku sejenak. Namun, saat mengingat julukannya sebagai preman, membuatku mulai was-was lagi.

“Buka bajumu! Bisa sakit kalau pake baju basah!”

Apa-apaan ini!? Dia menyuruhku membuka baju!

Papah … Mama, Jeane menyesal sudah pergi dari rumah! Aku takut, Pah! Apakah aku harus terlihat ketakutan, agar terlihat lemah di matanya? Tidak tidak. Akan tetapi ….

Bagaimana ini? Di gubuk bertirai hujan ini tidak ada orang lain lagi. Suara petir bersahutan yang jadi melodi. Aku takut dia akan berbuat macam-macam. Ingin lari, tetapi kaki sudah seperti ubur-ubur.

Dia ngotot menyuruhku berganti dengan kemeja flanel, yang baru diambil dari jok motornya. Bentakannya membuatku nyaliku semakin menciut. Mau tidak mau, harus berganti dengan kemeja flanel miliknya. Oww God, seumur-umur baru kali ini, aku pakai pakaian cowok. Terpaksa, Aku harus melepas semua pakaian basahku, setelah dia membelakangiku. Shit!

Hangat, sehangat pelukannya di saat tubuh menggigil dan lemah. Tuhan … kenapa pandangan mata ini menggelap?

🌿

Suara ribut warga mengusik. Kudapati diriku yang hanya memakai kemeja dalam pelukan Gavin yang polos tanpa kaos.

Cahaya pagi membuat wajah Gavin yang kusut terlihat jelas. Aku terlonjak menjauh, dia pun sama.

“Nikahkan saja mereka!”

“Ya, pendatang baru sudah mengotori kampung kita, nikahkan saja!”

“Sudah! Seret saja ke masjid! Nikahkan saja!”

Itu yang kudengar dari beberapa warga. Belum sempat aku mencerna kalimat-kalimat itu, mereka sudah menyeretku dan Gavin. Argh! Nasib apa lagi ini?

🌿

Papah terlihat geram saat harus menjabat tangan Gavin di depan penghulu. Namun, sebagai warga baru, harus mengikuti adat yang berlaku. Beliau takmungkin abai pada amukan warga.

Tak satu pun kata yg dapat kugambarkan tentang perasaanku. Pernikahan yang tak terduga. Bagaimana aku harus menata hati. Feritz, maafkan aku. Ucapku sambil menatap foto prifilnya di gawaiku.

Feritz, kau bagaikan bintang Betelgeuse di hatiku. Meski cahayamu memudar, kau pernah ada dan akan selalu ada.

Malam hanya tersisa lelah. Pesan masuk. Ragu untuk membukanya. Kuintip dari notifikasi.

“Selamat menempuh hidup baru, ini kado dariku.”

Terdapat dua gambar terkirim. Saat kubuka pesan, tertulis nama Jeane Anindhita Maulana dan Feritz M. Prayoga dalam lembar laporan DNA, dengan tingkat kecocokan gen seratus persen.

Kolong Gancit , 7 Mei 2022

Dialin

Dialin adalah seorang nenek milenial yang tinggal di kolong Gandaria City, Jakarta Selatan. Kesehariannya yang hanya dihabiskan untuk berselancar di dunia maya membuatnya bosan. Hingga setahun terakhir, dia belajar menulis.
Salah satu cerpennya berjudul JANGAN UCAP ITU, PA! Temukan juga cerpen-cerpen Dialin yang lainnya di aplikasi baca KBM. dia juga menulis di aplikasi Fizzo dengan nama pena Dialin dan dengan judul DUDA & MISTERIUS CEO.
Selain belajar menulis, Dialin juga belajar membuat quotes. Bagi yang ingin melihat quotes-quotesnya ada di instagram dengan akun @pena_dialin untuk fb @dialin. Sampai jumpa di karya-karya Dialin selanjutnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

2 thoughts on “JANGAN UCAP ITU, PA!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: