ilustrasi
AdaNews – Pilpres 2024 semakin mendekat. Namun, hingga kini belum ada kepastian tentang nama-nama yang bakal maju sebagai Capres maupun Cawapres. Meski apabila dilihat dari segi elektabilitas, setidaknya sudah bisa kita tebak, siapa saja kandidat yang digadang-gadang berkompetisi pada ajang demokrasi lima tahunan tersebut?
Siapa lagi kalau bukan Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Dari ketiga bakal kandidat di atas, Prabowo mungkin sedikit lebih “jelas”. Pasalnya, mantan Danjend Kopasus itu hanya perlu memencet tombol partainya, Gerindra, untuk menyatakan dirinya maju atau tidak.
Hanya saja, Prabowo masih butuh satu partai lagi untuk berkoalisi agar partainya memebuhi ambang batas pencalonan (Presidential threshold 20%). Tapi, rasanya hal tersebut bukanlah masalah serius.
Bagaimana dengan Anies Baswedan? menurut hipotesa penulis, Gubernur DKI Jakarta ini tentu tidak perlu risau. Penulis rasa, akan ada partai yang berani meminangnya. Yakni, Partai Nasdem yang sejak jauh-jauh hari sudah mulai menjajakinya. Bagi mereka, rasanya tidak akan peduli dengan nasionalisme dan masa depan bangsa, yang penting kepentingannya bisa terwujud.
Bagi penulis, yang masih agak abu-abu bahkan gelap justru nasib Ganjar Pranowo, meski Meski memiliki tingkat elektabilitas stabil dan terus meningkat. Tapi, situasi politik sekarang justru seolah tidak menjadi jaminan bagi partainya, PDI Perjuangan serta merta akan mengusungnya.
Padahal, jika saja Partai Banteng ini serius dengan Ganjar, mereka hanya tinggal memoles Gubernur Jawa Tengah itu, dan potensi memenangkan Pilpres 2024 rasanya cukup terbuka lebar. Namun, karena ada “sesuatu” di tubuh partai yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri ini, posisi Ganjar seolah diabaikan.
Terbaru, ada wacana untuk menduetkan kader super elit PDIP, Puan Maharani dengan Anies Baswedan. Jika ini benar-benar terjadi, Anies mungkin akan dijadikan Capres, dan Puan sebagai Cawapres.
Wacana ini terlontar dari kader kawakan Effendi Simbolon yang belum lama ini menampilkan musisi Ahmad Dani untuk menghibur perhelatan sang politikus. Ini sikap nyeleneh dan mbalelo, mengingat musisi yang satu ini sejak dulu jelas memposisikan dirinya sebagai “musuh” pemerintah. PDIP sendiri merupakan pendukung pemerintah.
Entah apa yang menjadi pertimbangan Ahmad Dani, yang pernah meramalkan Jokowi hanya bertahan dua tahun sebagai presiden. Tetapi, lagi-lagi orang akan berkilah bahwa memang begitulah politik, tak ada kawan atau lawan yang abadi. Sebab, yang abadi adalah kepentingan.
Wacana Anies – Puan ini pun disambar cepat oleh Bahlil Lahadalia, menteri investasi/kepala BKPM. Bahlil, dalam suatu acara menyatakan, duet Anies-Puan itu kuat, dan bisa dimaknai sebagai bentuk pemersatu bangsa.
Apapun itu, wacana Anies Puan ini jelas menjadi pukulan telak bagi Ganjar Pranowo. Dan, apabila partai Banteng dan ketua umumnya silau oleh kekuasaan atau terjebak dalam politik pragmatis, maka duet Anies-Puan ini bukan mustahil terwujud. Sedangkan Ganjar, harus legowo untuk terpental dari pusaran
Jika ini terjadi, sudah saatnya Ganjar menentukan sikap. Pasalnya, penulis rasa sangat bodoh kudu melepaskan peluang emas sebagai capres potensial. Kesempatan emas ini rasanya akan sulit terulang lagi dimasa mendatang. Maka, bila Ganjar cerdas, baginya tak ada pilihan lain kecuali mengucapkan sayonara pada partai dimana dia sendiri turut serta membesarkannya.
Jika memang Ganjar tidak ingin melepaskan peluang untuk mencatatkan nama-nama dalam sejarah besar negeri ini, dia akan menemukan wadah yang bisa dibawa sampai ke tujuan yang dia idamkan, dan sebenarnya sudah ada di depan mata.
Singkirkan dulu loyalitas terhadap partai, apabila partai sendiri tak mengindahkannya. Dalam hal ini, Ganjar tidak boleh diam dan paarah. Dia harus segera mengambil sikap tegas. Lupakan yang namanya kamus kesetiaan atau balas jasa pada partai.
Meninggalkan partai politik tentunya berbeda dengan meninggalkan istri/keluarga. Meninggalkan keluarga, itu suatu dosa besar yang tidak terampuni. Namun gonta-ganti parpol adalah lazim terjadi. Paling banter hanya disebut kutu loncat atau pengkhianat. Sekali lagi, hal itu lumrah dalam politik.
Tengok saja Ruhut Sitompul. Hingga sekarang, dia masih tetap eksis dalam dunia politik meski di bully sebagai kutu loncat. Penulis rasa, para penikmat politik tahu, sebelumnya pria yang kerap dijuluki “Raja Minyak dari Medan” ini merupakan kader Partai Golkar, kemudian menyebrang ke Demokrat. Sekarang, sama-sama kita ketahui, Ruhut “nongkrong” di PDI Perjuangan.
Contoh lain, Ahok. Pada saat menjadi anggota DPRI, mantan Gubernur DKI Jakarta ini berlabuh di Partai Golkar. Namun, kemudian pindah ke Partai Gerindra, yang membawanya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi. Sekarang, lantaran prinsip yang bisa dutukar dengan kompromi, yang bersangkutan berganti partai kembali. Saat ini tercatat sebagai kader PDI Perjuangan.
Balik lagi ke Ganjar. Boleh jadi, kini dia tengah menghitung tentang langkah-langkah yang akan ditempuh, apabila dia sebagai kader dengan elektabilitas yang sangat menjanjikan benar-benar disingkirkan hanya demi putri mahkota yang elektabilitasnya kembang-kempis.
Penulis rasa, sesabar-sabarnya manusia, yakin bakal ada batasnya. Jika terus diacuhkan, diabaikan, bahkan dilecehkan sampai akhirnya terhempas, dia akan bangun dan menemukan terobosan baru.
Sebagai pemilik tingkat elektabilitas (ter)tinggi dalam berbagai lembaga survei kredibel, posisi Ganjar Pranowo jelas menggiurkan bagi petinggi-petinggi partai. Artinya, Ganjar akan mudah diterima oleh partai manapun. Khususnya, oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diisi oleh Partai Golkar, PAN dan PPP.
Demikian pula dengan Nasdem cs yang dikomandoi Surya Paloh. Kabarnya, mereka sudah meniscayakan duet Ganjar – Anies. Dan yang juga tidak bisa dinafikan adalah kombinasi Prabowo dengan Ganjar.
Kini, hanya tinggal melihat ke arah mana angin akan bertiup. Semoga saja bukan angin puting-beliung. Begitu kira-kira!
(Elang Salamina)