Maaher at Thuwailibi Terjebak Permainan yang Tidak Ia Pahami

0 0
Read Time:3 Minute, 40 Second

AdaNews.id-Makin hari, makin kedodoran perilaku membela diri Maaher. Netizen sebenarnya sudah cukup lama geram melihat postingannya. Hanya saja terhenti pada kejengkelan semata. Tidak ada cukup hal yang bisa membawanya ke ranah hukum. Falsafah Jawa tepat yang menyatakan, sate kebak sundukane, sate terlalu penuh tusukan di lidinya.

Ketika ia masuk dalam polemik Nikita Mirzani vs Rizieq Shihab, pembelaan yang malah menyeretnya jauh lebih parah dan payah. Ia tidak akan pernah berpikir seperti ini. mendapatkan panggung tetapi runtuh dan membuatnya terjungkal. Mengapa demikian?

Posisi FPI dengan Rizieqnya sangat tidak aman dan nyaman. Perilaku ugal-ugalannya selama ini memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya ketakutan. Keadaan yang tidak aman itu ditutupi dengan show of force, memperlihatkan kekuatan. Padahal itu semua sangat semu.

Panggung milik Rizieq diserobot Maaher, itu yang tidak boleh terjadi. Orang luar, jangan sampai menjadi matahari kembar. Sikap penolakan langsung, dan menyatakan itu bukan pernyataan atau sikap FPI dan sayapnya, memperlihatkan hal itu dengan gamblang.

Beda dengan klarifikasi bawahan, hal yang sama ternyata malah diungkit lagi dengan suara lantang, dalam acara keagamaan oleh si “pelaku” Rizieq sendiri. Yang jelas Maaher, jangan ikut campur, untuk nyempil panggung milik sang imam besar buronan ini. kasarnya itu begitu.

Maaher lupa, atau tidak tahu, kelihatannya dia tidak paham, bagaimana kelompok ini akan selalu demikian. membuat orang terjerembab sendirian, tanpa mau peduli, daftar panjang, ada Buni Yani, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet. Eh Maaher mau ikut-ikutan.

Model bertahan dan menyerang Maaher juga memperlihatkan pribadi anak-anak, tidak dewasa, tidak bijaksana, ketika ia juga mengatakan ia pernah dihina, maka menjawab penghinaan. Lha, malah jadi lingkaran setan penghinaan dan tidak akan selesai. Panutan, ulama, dan merasa tokoh seharusnya menjadi agen perubahan. Menghentikan perseteruan, bukan malah ikut terlibat dan lebih buruk lagi.

Penghinaan pada pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya, akhinrya membawanya pada potensi terkena pasal pelanggaran hukum. Si terhina sangat mungkin hanya tertawa, tetapi bagi keluarga, anak buah, murid, atau yang simpati belum tentu menerima dengan sikap yang sama. Pelaporan itu konsekuensi logis, jangan kemudian melebar lagi.

Eh ternyata masih dengan pola yang sama, kini warga medan juga jengkel, karena ia menyatakan di Medan kata lonte biasa terucap. Jangan-jangan ini bukan kota Medan ibu kota Sumut, tetapi medan atau area ia hidup dan berkomunitas, biasa membahas dan menggunakan kata ini dengan enteng dan biasa. Ups…

Ancaman untuk mengepung dengan 800 orang, ini bahan tertawaan, apalagi FPI tidak ikut-ikut. Ia tidak punya cukup orang dan juga dana untuk pengerahan massa sebesar itu. Di tengah pandemi lagi. Ancaman yang dicabut itu malah menambah masalah, bagaimana ia berteriak dulu baru berpikir. Sendirian akan menghadapi badai yang ia ciptakan sendiri.

Apa yang telah dibahas di atas hanya mau menunjukkan bagaimana posisi Maaher ini dalam konflik antara Nikita Mirzani dengan Rizieq yang coba ia masuki demi mendapatkan panggung. Ia salah melawan sosok yang tidak kenal takut dan melawan siapa saja. Masalahnya ada di sini. Maaher kena batunya, dan malah tertimpa tangga, digigit anjing pula. apes bertubi-tubi.

Perlu belajar dari Fadli Zon, yang membiarkan saja. Posisi Nikita itu tidak menguntungkan untuk dilawan. Menang tidak menambah apa-apa, kalau kalah jelas akan diinjak-injak terus oleh pihak Nikita, yang kini malah mendapatkan sokongan penuh dari warga net.

Masa lalu Maaher yang diulang-ulang, kisah privat berumah tangga pun diungkap. Malah babak belur. Jangan menarik kaki yang sedang terjebak lumpur, kalau tidak mau lepas itu engsel pangkal paha. Tenang dan tarik diri, bukan malah menjadi-jadi dan menambah masalah.

Soal mekanisme dan manajemen konflik saja. Saya tidak setuju Maaher menghina Nikita, toh sama tidak setujunya dengan menguak rahasia pribadi Maaher sebagai cara menyudutkan dalam perselisihan ini. Sama-sama tidak dewasa dan kekanak-kanakan.

Media sosial perlu yang namanya kedewasaan, kebijaksanaan, dan juga taraf belajar yang tinggi. Karena berjarak, orang sangat mungkin berani dan mengharapkan dukungan pihak lain. Ini soal. Keberanian semu, dan juga kadang data dan fakta mentah yang bisa menjadi bumerang.

Pengetahuan bermedia, pun pengetahuan umum pengguna media beragam. Ada yang asal ada judul dan link sebar, padahal click bait, isinya jauh dari judul. Provokasi dan ujaran kebencian yang awalnya orangya tidak tahu.

Miris, apalagi para elit, selibritas yang memiliki penggemar fanatis. Mereka kadang malah memanfaatkan, bukan menggunakan itu untuk mencerahkan, literasi penggemarnya.

Demokrasi kita memang masih kanak-kanak, pun masih cukup dini berharap bisa dewasa dan bijaksana. Ironis karena perilaku grusa-grusu, malas, dan enggan belajar memperparah keadaan. Mengedepankan ego dan emosi menjadi tambahan masalah. **Susy Haryawan

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: