SEBELUM membahas soal judul di atas, penulis ingin menceritakan sebuah lelucon yang dilontarkan Presiden RI ke-4, Abdul Rahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gusdur. Seperti apa leluconnya? Mari kita simak!
Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 1 September 2006, dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (31/8/2006), Gus Dur sempat melontarkan candaan. Menurutnya, di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur. Mereka adalah patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.
Siapa itu Jendral Hoegeng? bagi anda yang belum tahu, penulis akan coba bahas sekelumit kisahnya.
Jendral Hoegeng adalah mantan kapolri ke-5. Baliau menjabat pada zaman orba, antara tahun 1968–1971.
Meski jabatannya terbilang singkat, tapi cukup banyak prestasi luar biasa yang ditorehkan Jendral Hoegeng guna menjaga marwah institusi kepolisian. Lantaran, dalam menjalankan tugasnya selaku orang nomor 1 di institusi Bhayangkara, ia terkenal dengan keberanian dan kejujurannya. Padahal, pria kelahiran 14 Oktober 1921 hidup pada era di mana Korupsi yang di lakukam oknum pejabat pemerintah. tengah merajalela.
Sejatinya, polisi jujur seperti Jendral Hoegeng adalah aset dan kebanggan negara. Namun realitanya terbalik. Beliau justru banyak dibenci oleh oknum-oknum pejabat korup masa itu. Mengingat, dirinya kerap mampu menggagalkan aksi-aksi jahat atau pelanggar hukum.
Dalam artikel yang ditulis wartawan senior, Rosihan Anwar, “In Memorian Hoegeng Imam Santoso” yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, sang Jendral pada tahun 1971 sempat melakukan aksi ikonik. Ia mampu menggagalkan kasus penyelundupan mobil mewah melalui pelabuhan Tanjung Priok. Dalangnya adalah Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.
Sayang, kesuksesannya itu malah menjadi awal kehancuran karir sang Jendral. Karena, pada tahun yang sama, Presiden Soeharto malah mencopotnya dari jabatan Kapolri, dengan dalih regenerasi. Anehnya, Jenderal M Hasan sebagai pengganti malah lebih tua satu tahun.
Atas kejadian itu banyak spekulasi beredar, regenerasi tersebut hanya akal-akalan Presiden Soeharto. Sebenarnya, pencopotan itu diduga karena sepak terjang Jendral Hoegeng yang dianggap banyak mengusik kepentingan bisnis kroni keluarga Cendana (Baca : Keluarga Besar Presiden Soeharto).
Hikmah yang bisa diambil dari sepak terjang Jendral Hoegeng adalah beliau merupakan orang yang menjungjung tinggi profesionalisme profesi. Dalam penegakan hukum dan kebenaran, ia tak pernah mau pandang bulu. Tak peduli itu pejabat tinggi negara atau sekalipun kroni cendana pasti dibabat habis bila terbukti melanggar hukum. Tanpa rasa takut kehilangan jabatan.
Kini, Jendral Hoegeng memang telah kembali ke pangkuan sang kuasa. Namun, namanya tak lekang ditelan waktu. Ia terus melekat di hati sanubari masyarakat sebagai polisi jujur dan profesional dalam menjaga marwah kepolisian. Dan, namanya akan terus tertancap kuat sebagai monumental sejarah perjalanan bangsa, khusunya di Institusi kepolisian.
Citra Polisi Merosot
Selepasnya Polri dari genggaman Jendral Hoegeng, entah telah berapa figur yang menggantikan posisinya. Namun, rasanya belum ada satu orang pun yang benar-benar memiliki dedikasi serta profesional kerja seperti Hoegeng.
Maaf, hampir rata-rata pimpinan Polri yang pernah ada di negeri ini hanya textbook atau menjalankan tufoksinya biasa-biasa saja. Cengkraman mereka hanya kuat ke bawah (Baca : Masyarkat sipil biasa). Sementara, saat dihadapkan pada kasus-kasus kakap, apalagi bersinggungan dengan kekuasaan, nyalinya langsung ciut, dan profesionalismenya sirna ditiup angin.
Sebut saja kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, dan penembakan terhadap enam laskar FPI di KM 50. Pihak kepolisian seolah kehilangan tajinya untuk mengungkap siapa dalang atau aktor utamanya.
Tak sedikit pihak yang percaya, pelaku-pelaku yang telah ditetapkan tersangka atas dua kasus di atas hanyalah pion-pion kecil. Sementata otak utamanya sengaja diselamatkan dan dikunci rapat dalam sebuah kotak pandora.
Perilaku-perilaku yang dianggap tidak profesional ini ujungnya memantik tingkat kepercayaan publik terhadap merosotnya lembaga Bhayangkara ini.
Dilansir dari databoks.katadata.co.id, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, sempat melakukan survei terkait tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Hasilnya, Kepolisian menempati urutan paling buncit (66,3%). Di bawah KPK (76,2%), serta Pengadilan dan Kejaksaan Agung (73,7%).
Listio Sigit Renkarnasi Jendral Hoegeng?
Mungkin, sub judul di atas terlalu berlebihan. Bagaimanapun, Jendral Hoegeng adalah sosok polisi sejati yang sulit dicari gantinya. Kendati begitu, semenjak Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo diangkat jadi Kapolri ada perubahan paradigma baru yang signifikan dalam tubuh lembaga Bhayangkara tersebut.
Hal yang paling bisa dijadikan ukuran dasar adalah wajah kepolisian yang biasanya menyeramkam dan menakutkan dalam pandangan masyarakat, perlahan mulai menjadi lebih humamis. Meski tidak menghilangkan sikap tegasnya dalam menjalankan tugas.
Dengan kata lain, wajah kepolisian di bawah kepemimpinan Listyo Sigit ini mampu memberikan layanan publik lebih baik, transparan dan mampu memberikan penegakan hukum secara berkeadilan.
Apa yang menjadi komitment Listyo ini setidaknya bisa dibuktikan dengan penanganan kasus yang akhir-akhir ini viral. Yaitu, kasus pembunuhan Brigadir J di Duren 3, Rumah Dinas mantan Kadiv Propam, Irjend Pol Fredy Sambo.
Awalnya, kasus meninggalnya Brigadir J banyak disoroti banyak pihak, karena dianggap terlalu banyak kejanggalan. Salah satunya, peristiwa itu baru diumumkan tiga hari setelah kejadian. Sontak, perhatian dan kritik pedas pun mengarah pada institusi Polri yang dianggap busuk dengan menutupi kasus sebenarnya.
Pada situasi serba sumir dan abu-abu, publik menuntut Polri lebih profesional. Mereka diminta agar proses penyelidikan dan penyidikannya dijalankan secara lebih objektif dan independen.
Bukan hanya publik, Presiden Jokowi pun beberapa kali minta Kapolri untuk membuka misteri kematian Brigadir J seterang-terangnya. Jangan ada yang harus ditutupi.
Jujur, penulis sempat understimate meski tuntutan terhadap Polri datang dari segala arah. Kalaupun terkuak, yang jadi tersangka paling juga para keroco-keroconya. Sebatas memuaskan hati publik saja.
Namun, rasa pesimis penulis tak terbukti. Listyo Sigit nyatanya bernyali besar. Mantan Kabareskrim Polri ini mampu mengambil sikap responsif, transparan, tegas, dan independen.
Menurut amatan penulis, setidaknya ada beberapa langkah strategis yang diambil Kapolri. Diantaranya, Listyo tanpa ampun mencopot Irjen Ferdy Sambo, mengganti pejabat pada Karopaminal Divpropam Polri, dan sejumlah jabatan penting di Polres Jaksel.
Bahkan, 25 anggota Polri lain yang dianggap menghambat penyidikan juga diperiksa dan terancam proses pidana. 25 anggota Polri itu terdiri dari tiga jenderal polisi bintang satu, lima orang Kombes, tiga orang AKBP, dua orang Kompol, tujuh orang Pama, lima orang dari bintara dan tamtama.
Tindakan tegas itu memang pantas dilakukan guna meminimalisir konflik kepentingan saat penanganan perkara. Agar berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan menjamin independensi dalam penyidikan.
Kemudian, Listyo dengan berani mengizinkan autopsi ulang jenazah Brigadir J untuk mengetahui secara lebih jelas penyebab kematian. Dan, terbukti hasil autopsi ulang itu terungkap, Almarhum ternyata tidak hanya jadi korban tembakan, melainkan diduga sempat mengalami luka non tembakan.
Tak cukup di situ, Pria kelahiran 5 Mei 1969 ini intens menyampaikan informasi terbaru soal penanganan penyidikan kasus Brigadir J kepada publik. Ini membuktikan janji transfaransi Polri bukan isapan jempol semata.
Selanjutnya, Listyo juga kerap menyampaikan, pembuktian yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil atas suatu tindak pidana haruslah berdasar pada scientific Crime Investigation (Penyidikan Berbasis Ilmiah) sebagai upaya penguatan alat bukti dalam penanganan perkara pidana. Termasuk dalam kasus meninggalnya Brigadir J.
Dampaknya sungguh patut diacungi jempol. Setidaknya, hingga hari ini Polri mampu menentukan tersangka Bharada E dan Brigadir RR, serta melanjutkan pemeriksaan lanjutan terhadap Irjen Pol Ferdy Sambo. Padahal, biasanya kemajuan-kemajuan dalam pemeriksaan yang melibatkan pejabat tinggi Polri ini sulit tewujud tanpa adanya keberanian, ketegasan dan langkah strategis yang diambil oleh Kapolri.
Komitmen yang dipertontonkan Kapolri ini bagi penulis memang sangat dibutuhkan guna menciptakan stabilitas keamanan di masa yang akan datang. Hanya saja, dalam kesempatan ini penulis meminta terhadap seluruh publik tanah air untuk tetap menahan diri dan tidak menggiring opini publik keluar dari proses hukum yang sedang dilakukan.
Bagaimanapun bagi penulis, apa yang telah dilakukan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo begitu monumental bagi sejarah penegakan hukum di Negara Indonesia. Kenapa? Karena memang tidak mudah bagi polri selama ini membuka “borok” internal apalagi pelakunya diduga bertabur bintang
Mari dukung Polri tetap presisi, kita harus tetap percaya hukum berada di atas segalanya bukan atas kepentingan seorang ataupun kelompok.
Akhirul kata, penulis berharap, sejarah kembali terulang. Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo bisa mengikuti jejak Kapolri sebelumnya, Jendral Pol. Hoegeng Imam Santoso.
Penulis : Elang Salamina
Menanggapi tulisan Elang yg judulnya mampukah Kapolri Lityo SP mengikuti jejak Hoegeng? Kalau konteksnya itu, saya kalau boleh mengonentari boleh ya’ boleh tidak, Jika dibandingkan Lystio dengan Hugeng Imam Santosa konteksnya dangat berbeda apw sebanya situasi & kondisi obyektif tahun 70 han dan sekarang jauh berbeda, karena ketika itu Dwi Fungsi ABRI dimana Kepolisian masuk di dalamnya masuk dalam ranah epoleksusbud sekaligus politik praktis, dan persoalan hanya sekedar urusan Helm & bisnis Keluarga Soeharto namun walaupun demikian kita apresiasi Hugeng telah mampu melaksanakan Equality bifore the law pada saat itu.Pendapat saya secara pribadi Listyo SP mampu melanjutkan jejak Hugeng ada beberapa landasan kuat yang dimiliki plus kemampuan secara personal al. 1.Dia sosok manusia yg humanis & low profil 2. Kemampuan akademisnya teruji 3.Seorang fecussion maker yg tangguh & mampu mendeteksi dini situasi nasional dalam situasi apapun, hanya saja yg jadi kelemahan belum nampu mensskeksi secara filing hart nya dalam hal menempatkan perwira perwira tinggi di Mabes Polri yg dibuktikan dengan terjadinya tragedi akibat perbuatan brutal Irjen Ferdy Sambo yang menjadi perhatian publik untuk segera dselesaikan secara hukum agar masalahnya clane & clare. Memang ada persoalan krusial di tubuh Polri menurut pendapat saya pribadi yaitu masih banyak prilaku oknum polisi dari tingkat polsek sd mabes menyalah gunakan kewenangan K di luar tupoksinya, namun jika dinilai secara obyektif saat ini secara keseluruhan dari prilaku & pola tindak dari kepolisian ada oerbaikan walaupub belum signifikan.akhirnya last but not keast Lityanto Sigi P akan mampu mengikuti hak Hugeng Inam Santoso. Terima kasih