Mencari Pembenaran

0 0
Read Time:2 Minute, 0 Second

AdaNews.id-Manusia tanah dan manusia air hidup di antara kita. Karena tanah bercampur, air menjadi keruh. Karena tanah keras tercampur air jadi lunak, hancur luluh menjadi satu.

Saat ini sedang pandemi, manusia tanah dipaksa menjauh dari manusia air. Komunikasi terhenti. Takut tertular dan menularkan. Masing-masing sembunyi. Menanti matahari membakar tanah menjadi merah. Membakar air hingga mendidih. Barulah pandemi pergi.

“Kau kira penularan hanya karena sentuhan,” keluh manusia tanah.

Jika hujan datang seluruh air akan menggenangi tanah. Mengapa pencipta hujan yang kau paksa pergi? Padahal hujan menghidupi. Manusia air membela diri.

Hujan dan badai terjadi di antara sela-sela kehidupan manusia tanah. Terpaksa sebagian dipaksa agar sembunyi dalam rumah. Menjada diri agar manusia air tak sanggup memeluk dan menulari.

Rumah tertutup rapat. Tamu, siapa pun tak boleh mendekat. Orang asing akan selalu dicurigai.

“Ayo usir pergi! Karena dia kita semua sekarat dan hampir mati!”

Manusia tanah kalap. Siapa pun dianggap keparat. Membuat hidupnya jadi melarat.

Tidak hanya itu saja, sesama manusia tanah saling mencurigai, saling mencurangi. Menimbun bahan makanan untuk memperkaya diri. “Kesempatan langka, aku bisa kaya!” bisik manusia tanah pada keluarganya.

Manusia air berpikir keras, kambing hitam selalu dipersalahkan. Semua kebijakan tak satu pun dianggap sebuah kebenaran. Lalu apa yang benar? Manusia air mengeluh kelelahan.

Kita sedang berhadapan dengan penyakit! Menggerogoti badan, sungguh menyakitkan, lalu membunuh secara perlahan. Dan membawa kematian. Kurangnya ilmu manusia tanah membawa pada sebuah kesimpulan, bahwa bersentuhan adalah sabab musabab wabah meraja lela. Belum menemukan jalan keluarnya.

Suatu ketika, manusia air memberikan sebuah peryataan mencengangkan. “Apa yang lebih membuat kita menderita?” katanya pada manusia tanah.

Bagaimana moralitas hilang dari jiwa-jiwa penantang? Gotong royong melayang. Kerjasama berubah jadi individualistis penuh egosentris. Kelindan keangkuhan bersanding dengan megahnya kekayaan dan jabatan. Mengambil kesempatan dengan kebijakan yang menyengsarkan.

Sejumlah catatan membuktikan, tanpa bersentuhan penyakit datang lewat saluran. Mata memandang, lewat telinga mendengarkan, lewat mulut keluar suara. Semua mengacaukan suasana. Hilang terbang dalam sekejap mata.

Dalam wujud gawai, televisi, youtube, layanan media sosial, manusia tanah kalah, manusia air pasrah. Interaksi tak datang dari kontak fisik. Penyakit merajalela dimikmati sambil tertawa. Sebagian akan berkata, “Inilah bahagia.”

Keduanya lega, mereka sekarang bukan kambing hitam yang dipersalahkan atas lenyapnya moralitas. Atas hilangnya sinergisitas, dan sejumlah karakter yang katanya jadi jati diri bangsa.

Siapa yang berkuasa? Manusia tanah dan manusia air bersepakan untuk satu hal ini. Mereka beranjak pergi, tak ingin mengusik kehidupan di bumi. **Ropingi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: