
Apa yang hendak Anda lakukan dalam keadaan darurat? Kalau jawabannya membangun atau merenovasi rumah dinas, Anda sangat cocok jadi seorang pejabat!
Adanews-Coba tebak. Apa yang diagendakan oleh oknum pejabat Indonesia dalam situasi krisis multisektoral akibat pandemi yang belum dapat sepenuhnya dikendalikan? Ya, betul! Membangun dan merenovasi kantor serta rumah dinas, dengan nilai anggaran yang bikin nalar terguncang.
Kemendikbudristek, contohnya. Mereka berencana akan merenovasi kantor yang diduduki Menteri Nadiem Makarim serta para koleganya. Kabarnya, mereka telah menyiapkan pagu anggaran senilai Rp 6,5 miliar untuk mewujudkan hal tersebut. Dilaporkan, renovasi itu dilakukan untuk menambah ruang kerja para pejabat baru, staf khusus, dan ruang kerja milik Mas Menteri tentunya.
Renovasi itu adalah tindak lanjut dari Perpres Nomor 62 Tahun 2021, yang memerintahkan penggabungan unsur riset dan teknologi dalam satu badan. Sehingga, perlu adanya penambahan ruang untuk pejabat-pejabat baru.
Rencana renovasi tersebut tentu cukup disayangkan. Betapa tidak, disaat masih banyak sekolah yang rusak serta masih membutuhkan bantuan, mereka justru mengalokasikan anggaran untuk mendanai proyek yang tidak termasuk dalam kategori darurat.
Mengutip data yang mereka dapatkan sendiri, pada tahun 2018, ada 251.316 ruang kelas (sekolah) yang mengalami “kerusakan berat” di seluruh penjuru Nusantara. Bayangkan, betapa banyak siswa yang saat ini menggantungkan masa depan di gedung yang sewaktu-waktu dapat membahayakan jiwanya. Saking parahnya kerusakan bangunan itu, sampai-sampai ada ruang sekolah yang tidak memilki atap. Bahkan, ironisnya lagi, sebuah bangunan SDN di Pasuruan, Jawa Timur, sempat ambruk pada tahun 2019 lalu. Nahas, seorang guru serta seorang siswa tewas, adapun 11 siswa lainnya mengalami luka-luka.
Idealnya, mereka perlu memprioritaskan renovasi ruang-ruang sekolah di seluruh penjuru Nusantara daripada merenovasi kantor dinas yang memang masih berdiri kokoh. Apakah harus menunggu jatuhnya korban jiwa lain baru mereka bertindak?
Rencana senada juga dilakukan oleh Ketua DPRD Sumatra Barat, Supardi. Kabarnya, ia hendak melakukan renovasi pada rumah dinasnya lewat dana sebesar Rp5,69 miliar. Absurdnya, renovasi itu bukan dilakukan guna memperbaiki bagian rumah utama. Melainkan bagian belakang yang hendak dipakai untuk ruang fitness, ruang tamu, serta shelter. Ia menyebut, area belakang rumah dinasnya tersebut dalam kondisi tak layak. Ia juga berdalih, gedung itu bisa dimanfaatkan sebagai ruang isolasi untuk warga yang terpapar Covid-19.
Selain fitness, apakah ia tidak berencana untuk mambangun biang lala atau roller coaster di belakang rumah dinasnya agar tak stres selama menjalani mandatnya?
Tren buang-buang anggaran yang sama sebelumnya juga diperagakan oleh Ketua DPR Kota Banda Aceh, Farid Nyak Umar. Namun, ia tak menjelaskan area rumah dinas mana yang akan direnovasi. Berdasarkan data dari LPSE Banda Aceh, anggaran renovasi rumah dinas sebesar Rp. 2,6 miliar dan pengadaan mobil dinas senilai Rp. 800 juta yang bersumber dari APBK Banda Aceh. Tender dua proyek itu kebarnya telah selesai dilakukan.
Tak hanya sampai di situ. Bagi yang menganggap anggaran senilai Rp. 2 miliar hingga Rp. 5 milar adalah jumlah uang yang amat besar, maka Anda akan lebih terguncang dengan anggaran yang dialokasikan untuk proyek berikut ini.

Proyek pembangunan rumah dinas milik Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menghabiskan anggaran sebesar Rp. 34 miliar. Membuat satu unit rumah dengan anggaran sebarbar itu di tengah pandemi tentunya sangat sulit diterima akal sehat. Apakah ia akan membangun istana di tengah gubuk reyot rakyatnya?
Yang bikin saya mengelus dada, proyek itu ternyata belum 100 persen rampung. Kabarnya, masih dibutuhkan anggaran tambahan untuk menyelesaikannya. Sang bupati mengklaim, pembangunan rumah dinas itu agar pejabat, termasuk dirinya, tak mengontrak. Sebab, selama ini daerahnya belum memiliki fasilitas rumah negara untuk para pejabatnya.
Namun, lucunya, meski “mengontrak”, ternyata rumah mereka masing-masing adalah yang dikontrak dan dibayar dengan uang negara. Tinggal di rumah sendiri, tetapi ditraktir pakai duit rakyat. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Dalam situasi krisis yang masih belum terkendali, apa pantas menghamburkan dana untuk membiayai proyek-proyek yang kurang mendesak?
Kebijakan pembangunan dan renovasi kantor serta rumah dinas dengan pagu anggaran besar kerap dikritik lantaran dinilai sebagai pemborosan, apalagi di tengah pandemi. Hal itu menunjukkan syahwat kekuasaan yang terlalu tinggi, sehingga mereka sering mengabaikan masyarakat yang sedang kesusahan. Terlebih banyak rakyatnya yang tengah sekarat. Angka kemiskinan meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah orang miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.
Tampaknya, derajat kantor dan rumah dinas jauh lebih tinggi daripada situasi ekonomi warga yang memprihatinkan. Mereka juga terbukti tak pandai dalam menentukan skala prioritas. Banyak pejabat yang tetap ngotot untuk melanjutkan proyek dengan berlindung di balik PP No. 40/1994 tentang Rumah Negara sebagai landasan hukumnya. Apalagi, beleid itu tidak mengatur nilai maksimal anggaran. Sehingga, pejabat bisa leluasa dalam menghabiskan uang negara untuk program-program yang tidak ada implikasinya secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat.
Benar, kebijakan membangun dan merenovasi rumah dinas tak melanggar aturan. Penganggarannya pun dilindungi dan dijamin oleh regulasi pemerintah. Akan tetapi, sebagai pejabat, hendaknya mereka memiliki kepekaan sosial dalam menghadapi situasi krisis. Ketika rakyat mengalami kesulitan, harusnya mereka bisa menahan diri dan belajar berempati.
Masyarakat akan lebih mengapresiasi andai mereka menunda hasratnya untuk melanjutkan proyek, setidaknya sampai pandemi terkendali. Akan lebih bijak jika anggaran itu digunakan untuk program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Salam.