AdaNews.id-Miris, nama besar Demokrat koq mainnya seperti ini. Politisasi bencana yang sangat memalukan. Usai gagal memainkan politisasi pandemi dan UU Cipta Kerja, kini mereka menggunakan bencana sebagai panggung mereka. Hanya mau mengais-ngais panggung yang mereka pernah miliki. Sikap, tanggapan, dan cara merespons keadaan laiknya politikus dan partai gurem. Atau memilih ke sana?
Bencana ini, hanya dua kejadian ada peran manusia, banjir dan pesawat jatuh. Lainnya adalah murni kehendak Semesta. Siapa sih yang bisa menahan gempa atau gunung meletus? Pinter itu banyak, tetapi bijak itu sedikit. Pandai itu bisa dipelajari, tetapi bijaksana itu selain bakat juga kemauan untuk tahu diri, instospeksi, dan menahan diri.
AHY ketika ada pesawat jatuh, langsung merespon dan menyasar pemerintah. Pemerintah perlu ini dan itu. masih wajar namanya juga anak sedang belajar bicara, belum fasih dan belum menemukan ritme yang tepat. Wajar dan setuju pernyataan seorang yang mengatakan anak bodoh turunan. Jam terbang sangat menentukan, plus kemampuan dasar memang sangat tidak mumpuni.
Duka itu bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, namun bagaimana menyikapi untuk ke depan lebih baik. Bagaimana duka keluarga, perusahaan, dan bangsa juga terlibat, eh malah ditambahi pencari panggung. Ini fatal bukan simpati malah antipati.
Andi Nurpati. Mengulangi yang sama. Mengatakan mensos apa ya blusukan ke Sulbar. Jadi ingat dulu pas mereka memimpin ada yang menyoal Ibu Negara malah main medsos. Koordinasi, kecepatan datang, dan reaksi itu perlu juga manfaat dan apa urgensinya. Jangan malah hanya datang namun membuat keadaan kacau. Keamanan misalnya, polisi dan pihak terkait lebih sibuk mengawal pejabat dari pada membantu. Kabinet sekarang tidak demikian, tetapi toh SOP minimal ada.
Kerja itu bukan semata medsos yang cepat teriak, mikir belakangan. Persis apa yang kader Demokrat lakukan. Miris, yang bekerja malah dihajar, dan yang diam tanpa kerja malah didiamkan. Susah melihat ini bukan sebuah upaya kampanye yang sudah diatur untuk lagi-lagi mengais panggung yang tidak mereka miliki.
Bapilu ngaco lebih memalukan lagi, bangunkan Jokowi, harus ada yang berani. Bayangkan saja siapa sih presiden yang sesigap Jokowi dan banyak hal. Ingat bukan menabikan Jokowi dan Jokowi pasti benar, tetapi bagaimana kinerjanya. Apakah Ani Arief perlu diingatkan soal mangkraknya proyek zaman partainya berkuasa? Atau soal komplain Malaysia dan Singapura soal kebakaran hutan, SBY buat apa?
Datang ke Sinabung malah merepotkan karena permintaan yang edan-edanan ala feodal. Pengawalan yang laiknya pemerintah penjajah bukan presiden negeri sendiri. Tampaknya Andi yang perlu dibangunkan, bahwa ini era modern, di mana rekam jejak sangat mudah dibolak-balik untuk dilihat lagi.
Bapilu itu motor penggerak partai. Sangat mungkin politisasi bencana ini adalah sebuah kesengajaan. Bagaimana mereka gagal memainkan politisasi pandemi, kemudian menunggangi aksi UU Ciptaker yang malah menelanjangi mereka, kini memalukan, menggunakan bencana sebagai kendaraan.
Demokrat, anak kandung reformasi, tetapi dibangun di atas feodalisme, kaum ABS dan elit yang suka kamuflase, kalau boleh menggunakan kata kasar dan sarkas, kaum penjilat dan gila hormat. Susah melihat mereka maju dan berubah jika model berpartai masih seperti itu. Masa lalu yang sempat besar, masih perlu dilihat apakah beneran gede karena proses atau karena adanya pihak yang menjadikannya gede, layak dilihat lagi.
Mengais-ngais dan memaksakan panggung yang sedang menjadi milik Jokowi itu konyol. Suka atau tidak, ini fakta yang harus mereka terima. Menegasi Jokowi malah membukan borok sendiri. Lihat saja bagaimana mereka menguak soal hutang, ya banjir bantaian dengan data yang sangat mudah dipaparkan, sekali lagi ini era keterbukaan. Menyoal tanpa SBY, Jokowi tidak bisa bekerja, langsung banjir sanggahan, bagaimana susahnya Jokowi bekerja karena pilihan SBY yang ngaco. Komarudin Hidayat, seorang yang tidak banyak bicara saja mengatakan demikian. Hal ini untuk mengesampingkan pernyataan Henuk yang memang sering ngaco.
AHY masih kesulitan lepas dari bayang-bayang SBY. Sempat yakin pilihan AHY sangat modern ketika melakukan upaya rekonsiliasi dan pendekatan kepada Mega dan Jokowi. Eh malah kini balik lagi, makin kuno. Sedikit banyak pemikir itu adalah Andi Arief karena ia adalah bapilu. Melihat model pendekatanya sih susah akan banyak berubah naik angkap pemilih Demokrat. Turun, sih iya.
Oposan yang asal berbeda, malah sekarang memilih lebih cenderung kanan, padahal ceruk itu sempit, banyak pemain yang berebut. Tuhan tidak suka, tanda-tanda untuk memilih kanan, dan kondisi kini yang sedang terhajar, apakah masih ada harapan? Susah melihat pilihan ini sebagai pilihan cerdas.
Masih ada waktu, kader memang tidak banyak bisa diharapkan, tetapi jika tetap seperti ini ya sudah Yudoyono hanya tinggal kenangan, dan Demokrat menjadi masa lalu yang hanya sekejap melambung dan terhempas. (Susy Haryawan)