Pejabat Publik Rawan Gratifikasi, Apa yang Perlu Dilakukan?

0 0
Read Time:6 Minute, 9 Second

AdaNews – Istilah gratifikasi sering muncul dalam sebuah kasus korupsi ataupun suap. Biasanya gratifikasi dikaitkan dengan sebuah pemberian cuma-cuma.

Secara umum gratifikasi bisa diartikan sebagai sebuah pemberian dalam berbagai bentuk yang berkaitan dengan pekerjaan, jabatan, atau tugas. Gratifikasi ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang.

Pengertian gratifikasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Pengertian serupa juga ditulis dalam situs resmi KPK.

Dalam laman tersebut dijelaskan, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pengertian ini tercantum dalam UU Nomor 20/2021 penjelasan pasal 12b ayat 1.

Mengapa gratifikasi perlu dilaporkan?

Gratifikasi perlu dilaporkan karena korupsi sering berawal dari kebiasaan yang tidak disadari ASN dan pejabat penyelenggara negara. Misal penerimaan hadiah dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian fasilitas yang tidak wajar. Hal akan menjadi kebiasaan bila dibiarkan terus berlangsung. Akibatnya kinerja dan pengambilan keputusan dari ASN atau penyelenggara negara akan terpengaruh.

Perbedaan gratifikasi dengan suap

Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, gratifikasi dijelaskan sebagai tindakan yang tidak semuanya ilegal. Terdapat dua kategori dalam penerimaan suap yaitu gratifikasi yang tidak dan dianggap suap.

Gratifikasi yang dianggap suap diberikan kepada ASN dan pejabat negara yang dianggap tidak sesuai dengan kode etik untuk mempercepat proses pelayanan atau menjamin proses pelayanan selesai tepat pada waktunya atau untuk mempengaruhi keputusan.

Contoh : 

– Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma

– Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya

– Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut

– Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan

– Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat

– Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan

– Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja

– Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

– Pemberian sejumlah uang demi mendapatkan pekerjaan dalam pengadaan barang dan jasa.

Gratifikasi yang tidak dianggap suap dapat diberikan kepada pegawai negeri dan pejabat negara yang dianggap tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Bicara soal gratifikasi yang dilarang  atau tindakan suap menyuap seperti kerap terjadi pada para pejabat publik di negeri ini, menurut amatan penulis tak lebih karena rendahnya moralitas. Para aparatur negara ini seolah berlomba untuk meningkatkan status sosialnya.

Meski begitu, penegasan status ini tak dilakukan melalui kinerja dan prestasi, tapi melalui perubahan gaya hidup. Karenanya, jabatan politik dan jabatan publik tidak dihayati sebagai tanggung jawab dan amanah, tetapi justru sebagai kesempatan menampilkan gaya hidup baru di luar akal sehat.

Realitas tersebut, nyaris belum bergeser dari gambaran Clifford Geertz tentang The Theatre State. Seperti diuraikan Geertz tentang negara klasik di Bali pada abad ke-19, negara tidaklah mempunyai kekuasaan memerintah terlebih dahulu, yang kemudian dipentaskannya lewat berbagai drama kenegaraan. Sebaliknyalah yang terjadi. Berbagai pentas, glamor, dan keagungan lebih menonjol dari­ pada karya. Pentas glamor, bukan hanya sekadar tanda kekuasaan, melainkan telah menjadi kekuasaan itu sendiri.

Hal yang terasa amat kurang dalam negara teater (dan masih terjadi hingga saat ini di Indonesia), adalah kesanggupan memerintah, yaitu statecraft, “regnancy”, atau rule. Pejabat­pejabat lebih banyak diwarnai semangat negara teater. Mereka sangat dekat dengan mental estate (status atau tingkatan sosial), dan begitu hirau dengan model state­ liness (pentas, glamor, dan keagungan ).

Bahkan di daerah yang paling miskin sekalipun, kebijakan­kebijakan megah­glamor selalu berulang setiap kali. Bentuknya nyaris seragam, mulai dari pengadaan mobil baru, biaya sewa rumah (meski sudah ada rumah prbadi), perjalanan dinas, biaya purna bhakti, dan lain sebagainya.

Bahkan saking tak terkontrol, banyak yang terjerumus ke korupsi, bahkan korupsi berjamaah. Realitas moral sosial seperti ini sebenarnya sudah cukup menjelaskan mengapa penegakan hukum di negeri ini tidak pernah maksimal, bahkan acap kali menimbulkan kekecewaan yang begitu luas.

Padahal aturan begitu melimpah, beragam lembaga pengawasan dibentuk, tapi justru korupsi dan praktik mafia kian tumbuh subur. Kata kuncinya, karena kesadaran etis kita masih sangat rendah.

Kedepankan Moralitas Tanggung jawab untuk mengelola hukum secara benar, membutuhkan basis moral yang lebih tinggi dari sekadar moralitas anak-anak. Moralitas dimaksud, oleh Kohlberg, disebut moralitas orang dewasa. Yakni moralitas yang sudah berada pada tahap konvensional dan pasca konvensional.

Berbeda dengan moralitas pra­konvensional yang berpusat pada diri sendiri, maka moralitas konvensional lebih berorientasi pada konvensi, prinsip, dan hukum. Tidak melakukan korupsi, bukan karena takut diburu KPK, tetapi lebih karena perbuatan tersebut dilarang dan diharamkan oleh hukum.

Hukum dan norma menjadi ukuran satu­satunya tindakan dari orang­orang yang sudah berada pada tingkat moralitas konvensional ini. Per teori, moralitas jenis ini sudah cukup bagi penegakan hukum yang normal.

Di tangan mereka yang sudah berada pada level ini, hukum dijalankan dengan lurus apa adanya. Mereka adalah orang-orang yang taat asas, dan tidak mudah diajak kompromi dan bermain gila dengan hukum. Moralitas inilah yang amat langka di negeri ini, sehingga wajah hukum kita begitu buruk.

Masih ada moralitas yang lebih tinggi dari moralitas taat asas ini, yakni moralitas pasca­konvensional. Moralitas ini memiliki dua jenis, yaitu moralitas “akal kritis” dan “moralitas hati nurani”.

Mereka yang sudah berada pada level moralitas akal kritis, selalu memperjuangkan kadaan yang lebih baik bagi kepentingan bersama. Mereka tidak tanggung-tangung berani bertindak beyond the call of duty atau super erogatoris: memiliki spirit kepeloporan yang luar biasa.

Hal yang ingin saya tekankan dari deskripsi posisi moral elit tersebut adalah, bahwa menghadapi pejabat dengan moralitas rendah, butuh kebijakan kriminal yang keras: (1). Aturan harus ketat/rigid, (2). Sanksi harus keras, (3). Law enforcement harus ketat, (4). Kontrol harus kuat dan ketat, (5). Reward and punishment harus berjalan konsisten.

Dalam menyusun kebijakan atau aturan tentang gratifikasi, perlu memperhatikan moralitas eksternal dan moralitas internal dari hukum.

Moralitas eksternal, terkait dengan eksistensinya sebagai aturan dalam ruang publik di mana kesederajatan, keadilan, dan keadaban dipertahankan dan dibela.

Moralitas internal, aturan Primer, harus: rasional, jelas­tegas, prediktabel, koheren (tidak tumpang tindih), akseptabel wajar dan berada dalam batas kemampuan orang rata­rata, mengandung kaidah (ada nilai nilai yang dibela).

Karena itu, aturan gratifikasi harus berangkat dari beberapa asumsi/pengandaian ontologi.

Pertama, tiap orang cenderung melakukan kesalahan, dan karena itu tingkah laku yang benar dan tidak merugikan orang lain, tidak dapat diserahkan kepada kehendak pribadi tiap orang, tetapi perlu diatur dengan peraturan hukum positif. Melalui larangan gratifikasi misalnya, seorang pejabat secara tidak langsung dicegah dari berbuat banyak kesalahan dan diselamatkan dari berbagai keteledoran (sin of omission) dan kecerobohan (sin of commission).

Kedua, Penyelenggara negara karena posisi/jabatannya, rawan power tends to corrup. Mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan, karena memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan.

Kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat dari­ pada kemampuannya membatasi diri. Dan, kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya.

Inilah sebabnya, pejabat/penyelenggara negara wajib tunduk pada pengawasan publik, termasuk melalui hukum. Sebagai penyelenggara negara harus mempunyai moral courage untuk menyadari kerentanannya itu, bersedia dikontrol, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahannya.

Ketiga, PN adalah pejabat publik yang diberi kepercayaan, diberi kewenangan, dan memiliki kekuasaan untuk mengelola kepentingan negara dan publik. Di titik ini, mereka memikul kewajiban etis untuk: (i). Menjaga marwah jabatan agar tetap dipercaya dan di­ hormati oleh publik, (ii). Cegah disalahgunakan dan divenalisasi, (iii). Tidak merugikan publik dan negara. Maka larangan gratifikasi harus dikaitkan dengan tiga hal itu.

Penulis : Asep Apendi (Ketua KPK Jabar Setda Sumedang)

Referensi : Theatre State – Wikipedia

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: