Pemilu 2024 dan Kaum Golput Ideologis

0 0
Read Time:5 Minute, 42 Second
Sumber gambar: detiknews.com

Golput adalah keniscayaan dalam setiap ajang politik. Eksistensinya tidak dapat dibendung. Angkanya hanya bisa diminimalisir dengan persyaratan: harus ada perbaikan.

Adanews-Fenomena golput atau golongan putih, sering menyita perhatian dari masa ke masa. Begitupun dengan ajang Pemilu 2024 mendatang, keberadaannya sangat sulit dihindari. Sebab, tidak ada dalam sejarahnya, partisifasi pemilu mampu menyentuh angka 100 persen.

Menilik ke belakang, golput terlahir dari konteks politik yang relatif berbeda ketimbang dengan era sekarang. Banyak pihak menilai, sikap golput sudah kuno dan tidak relevan diterapkan saat ini. Pasalnya, Indonesia sudah tidak lagi menerapkan sistem otoriter.

Tak sedikit pihak yang mempunyai prinsip politik berlandaskan pertimbangan elektoral. Mereka kerap menggunakan premis politik memilih terbaik dari yang terburuk. Dalam perspektif premis itu, artinya tak ada kandidat yang sempurna. Oleh sebab itu, memilih terbaik dari yang terburuk lebih utama ketimbang golput. Memilih (mencoblos) adalah cara mereka dalam mengurangi risiko terburuk. Akan tetapi, tentunya prinsip itu tidak berlaku untuk semua orang. Sebagian yang lain lebih memilih golput karena tidak ada kontestan yang dinilai cukup ideal menurut pandangan pribadinya.

Pada masa Orde Baru, gerakan golput sering kali dijadikan medium perlawanan untuk menggugat sistem politik dan pemerintahan yang tengah berlangsung. Misal, pada awal tahun 70-an, aksi itu terlahir dari kekecewaan para aktivis terhadap kegagalan pemerintah menggelar hajatan politik yang benar-benar bersih. Imbasnya, banyak kalangan muda yang memboikot Pemilu 1971. Mereka meminta pengikutnya untuk mendatangi TPS. Namun, hanya mencoblos bagian putih dari surat suara dan bukan gambar partainya. Itu sengaja dilakukan agar surat suara tidak dihitung (tidak sah). Dari situlah terminologi golput terlahir.

Setelahnya, banyak pamflet bertebaran di jalanan yang bertuliskan; Tidak Memilih Hak Saudara, Tolak Paksaan dari Manapun, dan Golongan Putih Penonton yang Baik. Bagi mereka, Pemilu 1971 hanya wujud ilusi demokrasi dan seremonial belaka. Tidak ada perubahan ke arah lebih baik yang dapat diharapkan dari kerusakan proses pemilu semacam itu.

Gejala Golput Pemilu 2024
Pasca jatuhnya era Orde Baru, semangat golput masih tetap menyala. Bahkan, ada trend kenaikan, baik dalam pemilihan legislatif, pimpinan daerah, maupun presiden. Sebagian besar para pelakunya didominasi oleh orang yang menganut golput ideologis. Golput semacam ini adalah prinsip politik yang menilai bahwa tak ada kontestan yang cukup pantas guna diberi mandat. Sikap politik itu dipilih sebagai bentuk protes terhadap para kontestan pemilu yang mereka anggap tidak kompeten.

Disebut golput ideologis lantaran para pelakunya memiliki argumentasi yang sangat kuat dan masuk akal. Keputusan mereka memilih golput bertumpu pada proses pemikiran dan kesadaran penuh. Perlu diketahui, golput merupakan hak politik. Tidak ada satu pun entitas yang dapat mencegah orang untuk memilih abstain. Selain lantaran tidak dilarang undang-undang, gerakan golput tidak termasuk tindakan kriminal. Yang dilarang dan berpotensi kena delik hukum yaitu jika kita terbukti mengajak orang lain tak memilih atau melakukan aksi yang membuat pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Meskipun Pemilu 2024 masih jauh, isu mengenai golput ideologis itu kembali mencuat. Beberapa kelompok bahkan mulai menyerukan golput dalam ajang pemilu serentak mendatang. Mereka meyakini, tidak memilih salah satu kontenstan juga merupakan sebuah pilihan. Sebab, mereka percaya, golput juga termasuk hak politik setiap warga negara.

Munculnya gejala golput disebabkan oleh kekecewaaan dan ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah, sekaligus ketidakpercayaan mereka pada oposisi. Pemerintah dinilai tidak berhasil dalam menuntaskan berbagai isu selama masa pemerintahannya. Adapun pihak oposisi juga dipandang tidak memiliki prospek kepemimpinan yang menjanjikan. Juga tidak memiliki rekam jejak yang baik.

Sebagai contoh, banyak yang menyebut, pemerintah telah gagal menangani pandemi Covid-19. Mereka juga dinilai lamban saat mengambil kebijakan yang tepat dan terukur. Kepercayaan publik juga tergerus sebab presiden tidak dapat memenuhi janjinya memperkuat KPK. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Semakin hari lembaga antirasuah itu semakin melemah. Hal ini diperburuk dengan penindakan kasus yang kerap gagal memenuhi nilai keadilan di mata masyarakat. Alih-alih diganjar dangan hukuman berat, koruptor justru ramai-ramai dihadiahi diskon vonis besar-besaran.

Teranyar, pemerintah dianggap sudah mencederai semangat serta nilai-nilai demokrasi bangsa. Mereka acapkali menerapkan tindakan represif terhadap pihak yang dianggap bersebrangan dengan agenda politiknya. Banyak kritik yang dibungkam dengan berbagai cara. Beberapa pengkritik bahkan berakhir di balik jeruji pesakitan. Kegagalan-kegagalan semacam itu akhirnya melahirkan krisis kepercayaan. Akibatnya, muncul anggapan yang mengklaim, siapa pun pemimpinnya, Indonesia akan tetap stagnan. Tidak akan ada perubahan ke arah yang lebih baik.

Selain itu, seperti yang telah kita ketahui bersama, para bakal calon presiden sudah mulai memajang baliho-baliho politik di berbagai penjuru negeri. Manusia awam pun tahu, media kampanye itu memang sengaja dipersiapkan untuk menyambut hajatan politik 2024 nanti. Dari sanalah ketidakpercayaan publik yang awalnya hanya diarahkan kepada pemerintah, makin melebar. Sentimen negatif turut menular terhadap tokoh-tokoh parpol yang akan mencalonkan diri.

Pemasangan baliho di tengah pandemi seolah-olah memberikan kesan kepada masyarakat bahwa mereka menihilkan nilai kemanusiaan dan empati. Mereka lebih mengutamakan agenda elektoral dibanding kepentingan rakyat yang jauh lebih penting dan mendesak. Apalagi, pemilu serentak kemungkinan akan digelar pada situasi pandemi yang belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Banyak pemilih yang enggan datang ke bilik suara lantaran khawatir terpapar virus korona, khususnya varian delta. Perpaduan faktor dan kegagalan itulah yang selanjutnya akan menjadi pemicu lahirnya gerakan golput yang mungkin terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Oleh sebab itu, saya yakin, angka golput akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Harus Ada Perbaikan
Golput adalah keniscayaan dalam setiap ajang politik. Keberadaan mereka tidak mungkin diredam. Mungkin jumlahnya hanya dapat ditekan dengan perbaikan dalam banyak hal.

Pemerintah saya anggap sebagai pihak paling ideal guna memulai perbaikan itu. Mereka dapat memulai dengan terlebih dahulu memenuhi agenda-agenda yang menjadi janji mereka selama kampanye. Perbaiki penanganan pandemi beserta dampak turunannya. Sediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang jadi korban PHK. Berikan bantuan pada masyarakat yang betul-betul membutuhkan. Perkuat KPK tanpa retorika. Desak aparat penegak hukum untuk tidak memberikan diskon vonis kepada para koruptor. Malah lebih baik jika vonis mereka diperberat. Sedangkan untuk para kandidat peserta pemilu, hendaknya menahan hasratnya berkampanye. Tunjukkan bahwa kalian peduli dengan nasib dan kondisi masyarakat yang terdampak Covid-19. Bantulah pemerintah dalam menangani pandemi dengan aksi kerja nyata.

Sementara terkait teknis di bilik suara, kiranya pemerintah dan KPU juga harus bisa menjamin pemilu 2024 mendatang berjalan dengan tertib, aman, dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, mereka harus benar-benar mempersiapkan segala hal dengan amat matang dan terukur. Jangan sampai ajang pemilihan pemimpin publik justru menjadi klaster penularan Covid-19. Mereka harus meminimalisir jatuhnya korban jiwa supaya tragedi Pemilu 2019 tak terulang.

Saya kira, beberapa perbaikan itulah yang bisa kembali menumbuhkan kepercayaan publik terhadap para bakal pemimpinnya. Sehingga, angka golput akan bisa ditekan seminimal mungkin. Publik akan dengan sangat senang hati berbondong-bondong ke TPS untuk memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik. Tak ada yang mustahil jika semua pejabat negara mempunyai komitmen yang kuat untuk bersama-sama memperbaiki nasib dan kondisi masyarakat.

Jika perbaikan itu tak segara diusahakan, menurut saya, justru bukan golput yang pantas disebut sebagai cara usang, melainkan politik uang lah yang sudah sangat ketinggalan zaman. (penulis adalah pemred adanews)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: