SUMEDANG, AdaNews- Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2014, tentang pedoman sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), para penyedia jasa kontruksi diwajibkan membekali para pekerjanya dengan perangkat alat keselamatan dan kesehatan. Hal ini untuk menjamin atau meminimalisir terjadinya kecelakaan fatal.
Namun, apa yang terjadi di Kabupaten Sumedang, masih jauh panggang dari api. Hal-hal non teknis seperti itu kurang mendapat perhatian dari hampir semua penyedia jasa kontruksi. Namun, alih-alih mendapat teguran, pihak direksi malah terkesan cuek dan terjadi pembiaran. Mereka seolah tak peduli terhadap keselamatan kerja para pegawai di lapangan.
Bentuk pelanggaran lain yang kerap terjadi di setiap pelaksanaan proyek di Dinas PUPR, khususnya Bidang Binamarga adalah tidak adanya direksi keet. Padahal, ruangan atau biasa disebut kantor khusus di lapangan ini sifatnya mutlak, bahkan tertulis pada surat rencana persiapan proyek pembangunan atau RAB. Dan, ini artinya telah disediakan anggaran yang jelas. Maka wajar, dalam aturan tertulis bahwa kontraktor atau penyedia jasa tidak bisa mengerjakan pembangunan jika belum menyelesaikan pembuatan kantor ini.
Tapi, fakta di lapangan justeru berbanding terbalik. Para penyedia jasa anteng-anteng saja mengerjakan proyeknya, meski tak membangun direksi keet dimaksud. Seolah, telah biasa melanggar aturan tersebut. Salah satunya CV Pangadegan, yang mengerjakan proyek lelang penunjang jalan di Lingkungan Cipamempeuk-Kebonsereuh, Kecamatan Sumedang Selatan.
Menurut Ketua LSM BRANTAS, Asep Deddy Supriatna, terjadinya banyak pelanggaran terkait kelengkapan perangkat kerja dan direksi keet bukan semata-mata kesalahan mutlak para penyedia jasa kontruksi, melainkan ‘impotennya’ pihak direksi dalam menegakan aturan.
Dikatakan pria yang akrab disapa Deddy Rongkah ini, lemahnya pihak direksi tersebut diduga bisa disebabkan baberapa faktor. Bisa itu faktor ketidaktahuan, kesengajaan atau memang tak berani menegur. Pasalnya, diantara mereka diduga telah terjadi pemufakatan jahat.
“Saya rasa, budaya suap-menyuap atau jual beli proyek masih kerap terjadi antara penyedia jasa dengan pihak direksi. Maka, saat terjadi pelanggaran di lapangan, mereka (direksi.Red) tak mampu berbuat banyak, karena memang telah ‘dicekok’ duluan,” tandasnya, Kamis (13/12/21).
“Kalau boleh saya contohkan, terjadi pekerjaan proyek di lingkungan saya sendiri. Saya yakin betul bahwa kegiatan itu tak ada direksi keet dan K3-nya, tapi pihak direksi tak bisa berbuat banyak. Padahal, hal ini sudah saya sampaikan langsung pada Pak Irwan sebagai PPTK-nya,” imbuhnya.
Lepas dugaan tersebut di atas benar atau salah, masih dikatakan Deddy Rongkah, alat kelengkapan demi keselamatan kerja (K3) dan Direksi Keet diyakini telah tercantum dalam RAB. Maka, ketika hal itu tidak dilaksanakan, sama halnya dengan merampok duit negara alias korupsi.
“Jelas, untuk K3 dan pembangunan Direksi Keet itu ada anggarannya. Nah, jika hal itu tidak dilaksanakan, berarti ada dana tak terpakai. Masalahnya uang itu kemana? Saya rasa tak mungkin kalau dikembalikan pada negara,” tegas Asep Deddy.
Sementara, Kabid Binamarha Dinas PUPR Kabupaten Sumedang, Helmi, hingga berita ini diturunkan masih belum bisa ditemui. Bahkan, dihubungi lewat pesan WhatsApp-pun yang bersangkutan tak membalasnya. (**).