AdaNews.id-Sebelumnya hanya ucapan inalillahi wainalilahi roji’un yang bisa terucap atas meninggalnya enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembus timah panas aparat kepolisian Polda Metro Jaya, Senin (7/12). Mereka meninggal dalam perjalanan saat sedang mengawal Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab yang katanya akan mengadakan pengajian subuh keluarga.
Hilangnya nyawa keenam laskar tersebut apapun penyebabnya adalah duka bersama. Duka rakyat Indonesia. Semoga para almarhum diberikan tempat terbaik di sisiNya. Aaminn.
Pro kontra alasan terjadinya pembunuhan tersebut menjadi dampak dan bumbu lain yang ramai diperbincangkan di media sosial atau media percakapan. Mereka menelisik dan beropini dengan sudut pandangnya masing. Argumen-argumen yang disuguhkan pun kental dengan subyektifitas selaras dengan kacamata keberpihakan.
Ada yang beranggapan bahwa tindakan aparat kepolisian telah melewati batas. Pelanggaran HAM berat dan gegabah dalam bertindak. Pendapat demikian tentu tidak bisa saklek disalahkan juga, terlebih yang menyampaikan opininya itu adalah pihak korban lewat konfrensi pers.
Pada arah berlawanan, pihak kepolisian mempunyai alibinya sendiri. Mereka menilai tengah dalam upaya penyelidikan karena adanya informasi awal pengerahan massa. Untuk itu, menjadi kewajibannya untuk berjaga-jaga dan berpatroli di setiap ruas jalan wilayah kerjanya.
Maka, saat konon katanya terjadi penyerangan, pihak kepolisian pun terpaksa memuntahkan timah panas, yang mengakibatkan enam orang tewas. Alibi polisi tersebut diperkuat dengan sejumlah barang bukti berupa beberapa pucuk senjata api, dan senjata tajam.
Sejauh ini belum bisa dipastikan opini siapa yang benar. Namun, desakan membuka cctv layak dijadikan perhatian, sehingga kasus ini tidak menjadi bola salju yang terus bergerak liar. Polisi ataupun pihak FPI tidak terus-terusan menjadi sasaran kecurigaan, atau malah membuat kedua belah pihak sama-sama tidak mendapatkan kebenaran sesuai dengan kapasitasnya.
Peristiwa ini sudah pasti harus benar-benar dituntaskan dengan asupan-asupan data serta fakta jelas. Dengan begitu bisa tampak pendapat atau opini siapa yang benar. Jangan sampai terjadi simpang siur ganjaran yang bakal diterima. Yang salah dinyatakan benar, pun sebaliknya yang benar malah dianggap salah karena kuatnya narasi-narasi serta opini publik.
Kembali pada judul artikel. terlepas siapa benar atau salah atas peristiwa meninggalnya enam orang laskar FPI di jalan tol Cikampek KM 50 akan sangat berdampak pada kelangsungan pergerakan Habib Rizieq Shihab. Setidaknya, pihak Rizieq dan FPI sekarang akan paham bahwa pergerakan mereka tidak akan seleluasa waktu-waktu sebelumnya.
Habib Rizieq dan kelompok yang semula mungkin menganggap pemerintah ciut dan tidak berani bertindak terhadap apa yang mereka lakukan kini telah berubah arah anginnya. Pemerintah, khususnya aparat kepolisian tidak lagi berdiam diri. Mereka tidak lagi segan mengambil tindakan tegas bila ada gerakan-gerakan FPI yang dianggapnya membahayakan kondusifitas keamanan masyarakat. Misal, kerumunan massa di tengah-tengah pandemi.
Tanda-tanda pemerintah mulai tegas terhadap Habib Rizieq sudah tampak sejak pencopotan balihonya oleh Kodam Jaya beberapa waktu lalu. Kemudian, Polda Metro pun tak segan melayangkan surat panggilan untuk dimintai keterangannya atas kerumunan massa yang terjadi pasca kembalinya Imam Besar FPI itu dari Arab Saudi.
Sayang hingga dua kali pemanggilan oleh Polda Metro, Habib Rizieq tidak sempat datang langsung. Dalihnya karena sakit dan masih dalam proses pemulihan. Tapi, koq keluar malam-malam bisa ya?
Jika ini terus-terusan terjadi, susah melihat FPI dan Rizieq masih bisa kembali pada kondisi sedia kala alias baik-baik saja atau bisa sesuka hati “merajai” jalanan dengan beragam aksi demo dan sejenisnya. Bahkan, bukan mustahil bila Rizieq kembali tidak hadir pada panggilan berikutnya akan dijemput paksa pihak kepolisian. Dan, ini artinya statusnya sebagai saksi bisa jadi meningkat jadi tersangka. **Teguh Safari