Ilustrasi
AdaNews – Ada harapan bahwa suasana perpolitikan Indonesia lebih-kurang 10 tahun belakangan ini berubah lebih baik. Artinya, tidak ada lagi politik identitas, tak ada lagi politik SARA.
Penulis harap, para politikus yang ‘bermain’ kembali bermain gagasan. Melanjutkan hidup sebagai bangsa dan tidak lagi mengulang-ulang bahasan dan pokok permasalahan yang sebenarnya sudah selesai. Pasalnya, ada hal yang lebih dan akan selalu penting.
Agak aneh bila saat ini Indonesia masih berbicara tentang persatuan, bermasalah dengan keragamannya, dan yang membuat makin heran adalah adanya kelompok tertentu yang menginginkan Pancasila perlu diurus serta diperkuat lagi. Sorry, Bro. Kita Merdeka sudah hampir 77 tahun.
Namun, begitulah politik. Para politikus selalu dan akan mendapatkan peran justru dengan adanya kegaduhan. Tinggal pilih saja, sih. Pilih kegaduhan yang aman atau kegaduhan di pinggir jurang?…
Bermain SARA jelas pilihan yang sangat berisiko. Begitu banyak contoh buruk yang semestinya bisa dijadikan rujukan agar dapat terhindar dari efek penghancur nya.
Pilpres 2014 dan 2019 jelas menjadi pengalaman buruk Bangsa Indonesia. Demokrasi yang seharusnya menjadi ajang pesta rakyat, justru mendatangkan segregasi.
Permainan politik identitas disertai dengan masifnya hoax nyatanya masih meninggalkan bekas. Sementara kemampuan SDM rendah sebagian besar rakyat Indonesia untuk dapat memahami mana fakta dan mana opini, semakin memperburuk keadaan. Hal ini membuat bekas keterbelahan itu semakin sulit untuk menghilang.
Lalu bagaimana dengan kontestasi Pilpres 2024 mendatang?
Kurang lebih dua tahun ke depan, Bangsa Indonesia kembali akan menyelenggarakan pesta demokrasi. Pemilihan Umum itu sendiri rencananya bakal dilaksanakan serentak, baik legislatif, maupun pemilihan presiden-wakil presiden, hingga per tingkatan kepala daerahnya.
Kekhawatiran soal problematika Pilpres pada dua pemilu lalu jelas tak bisa dilupakan begitu saja. Ketakutan masih adanya praktik-praktik politik identitas yang kontra produktif juga masih menyeruak disebagian kalangan masyarakat.
Pertanda ini masih bisa dilihat saat ini. Kelakuan para pendukung beberapa nama yang santer disebut punya peluang pada kontes Pilpres 2024 nanti, sepertinya masih ada saja yang melakukan praktik pengkotak-kotakan dan aksi provokatif.
“Perang” antar diksi kadrun-cebong masih menjadi andalan. Toleran-intoleran hanya menjadi alat andalan stigmatisasi. Saling cap siapa yang merasa paling nasionalis, siapa yang merasa paling agamis.
Sampai kapan, dan siapa mereka?
Lembaga Survei Jakarta (LSJ) melalui analisis media monitoring menyebut, para pendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sangat kontradiktif di media sosial. Dalam analisanya, lembaga ini menemukan bahwa hal tersebut membuat sentimen para generasi digital natives terhadap kedua figur ini menjadi negatif.
Justru yang mendapatkan respon positif adalah Prabowo Subianto. Prabowo yang terkesan pasif di media sosial malah memperoleh persepsi baik atau sentimen positif dari generasi digital.
Berdasarkan analisa LSJ, sentimen negatif warganet terhada Prabowo dalam dua minggu terakhir sangat rendah (5 persen), sementara sentimen positifnya mencapai 37,1 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan sentimen negatif terhadap Ganjar dan Anies. Masing-masing mendapatkan 18 dan 35,8 persen.
Menarik!
Berkaca pada hasil analisa LSJ, penulis merasa, sepertinya generasi melek digital sudah muak dengan sampah “cebong-kadrun”, stempel rasis, dan agitasi-agitasi segregatif yang bertebaran menimbun membusuk di media sosial atau dunia maya. Mereka sudah muak dengan polusi sampah politik identitas yang jorok. Mereka tidak ingin terjebak dan ikut-ikutan menjadi sakit.
Apa artinya?
Ya, apabila masih ingin lanjut, para pendukung nama-nama yang mendapat “hadiah” sentimen negatif tersebut harus segera mawas diri. Artinya, harus mengubah strategi dan cara main menjadi lebih sehat dan normal. Mereka harus kembali bermain gagasan. Yakinlah, Indonesia tidak pernah kekurangan masalah yang bisa dijadikan bahan dagangan pada ajang pilpres mendatang.
Masa iya, mainan mereka bisanya hanya cebong-kadrun? Masa iya, hanya bermodal stempel-stempelan radikal-radikul saja? Masa iya, katanya toleran tapi nyatanya intoleran, hanya karena mereka itu dianggap berbeda?
Ayo berubah! Karena kalau tidak, kalian hanya akan membuat Indonesia tidak akan ke mana-mana. (Elang Salamina)