
PANDEMI Covid-19 menghadirkan banyak cerita dan realita. Ada duka, ironi juga hikmah. Di pentas politik nasional misalnya ada yang cari muka, ada yang mengejar citra, ada yang terlihat sibuk kerja dan ada juga yang mencari celah. Walhasil politik Indonesia tak pernah sepi walau dihantam pandemi.
Terakhir, saya menyaksikan para politisi, partai politik, kaum oposisi sampai kepala daerah memainkan politik cari atau asal aman”. Politik ini adalah gaya berpolitik dengan target bagaimana bisa mengamankan posisi. Tidak disalahkan, tidak menjadi sasaran tembak yang bisa menghancurkan kekuasaan.
Pandemi memang menyengsarakan dan menghempit kehidupan. Rakyat Indonesia pun menjerit hampir dua tahun terakhir. Keadaan sulit nan menghempit tersebut lucunya dimanfaatkan oleh partai oposisi, kaum oposan untuk menyerang pemerintah.
Tak elok, musibah dijadikan media berpolitik. Hal ini tak ubahnya menari di atas penderitaan. Tapi, itulah politik. KEJAM!!
Mereka menganggap pemerintah tak mampu mengatasi pandemi. Ada yang menyebutnya sebagai negara gagal. Presiden Jokowi menjadi sasaran tembak kaum oposan, partai oposisi. Bahkan, mantan Gubernur DKI ini sempat diberi gelar king of lips service, hingga dituntut mundur. Jangan lupa. Aksi Jokowi and game pun nyaris digelar walau akhirnya gagal.
Pertanyaannya, Kemana partai pengusung? Kenapa mereka diam seribu bahasa. Tak beraksi. Jokowi seperti tak didukung partai. Dia seorang diri melawan serbuan dari berbagai arah dari pihak-pihak yang berseberangan.
Kemana para kepala daerah? Hanya sebagian kecil yang nampak pontang-panting hadapi penyebaran Covid-19. Apa mereka sudah berada pada zona nyaman karena tidak mendapat hujatan, serangan protes dari masyarakat? Bukankah mereka adalah kepanjangan pemerintah pusat yang berperan sebagai pelaksana program-programnya dan kenapa bantuan sosial lamban dicairkan?
Jawaban dari pertanyaan di atas cukup simpel. Tak perlu data serta analisis mendalam. Yakni, mereka semua sedang memerankan politik cari dan asal aman. Artinya, soal pandemi semuanya diarahkan pada pemerintah pusat atau Jokowi. Seakan-akan semuanya salah dan menjadi tanggungjawab Jokowi.
Belakangan sebuah manuver politik yang dilakukan PDIP sangat ironi dan anomali. Tak sedikit kader banteng tersebut menyerang (baca:mengkritisi) pemerintah secara terbuka. What’s going on, Bro?
Bukankah PDIP adalah partai pengusung utama Jokowi? Jika PDIP saja begitu tajam dan terbuka kritisi Jokowi, maka kedepan bisa saja partai pengusung lain melakukan hal sama. Bahkan, bisa lebih tajam dari PDIP.
Diawali Effendi Simbolon. Politisi senior PDIP ini menyalahkan Jokowi yang dianggapnya telah salah langkah sejak awal dalam penanganan Covid-19. Yaitu, tidak memberlakukan lock down. Hal ini menurutnya telah menyalahi aturan, sebab UU Kekarantinaan Kesehatan telah mengamanatkan hal tersebut. Secara tidak langsung Effendi Simbolon menuduh Jokowi melanggar konstitusi. Ini tuduhan jelas merupakan tuduhan serius.
Selang berapa waktu, Masinton Pasaribu mendukung tuduhan Effendi. Dia menegaskan bahwa pernyataan rekannya itu merupakan kritik untuk seluruh elemen pemerintah. Bahkan, secara khusus, Masinton juga menyoroti kinerja Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang ditunjuk sebagai koordinator penanggulangan Covid-19. Menurutnya, cenderung menyepelekan pandemi dan bertindak secara seremonial. Misal, dia menyoroti pernyataan Luhut yang menyebut corona terkendali, tapi keesokannya justru terjadi lonjakan kasus.
Tidak cukup sampai di situ. Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP, Puan Maharani juga melakukan hal serupa. Puteri Megawati ini mempertanyakan data anak yatim atau piatu yang terkena dampak Covid-19. Ujarnya, hingga kini masih cukup banyak anak yang kehilangan orangtua lantaran meninggal dunia karena Covid-19. Namun, dirinya belum melihat data anak yatim tersebut. Dalam jangka pendek, lanjut Puan, anak-anak yatim piatu akibat Covid-19 harus segera mendapat pendampingan untuk pemulihan dampak psikologis akibat kehilangan orang tua mereka. Mereka wajib dianggarkan. Tak hanya itu, sebelumnya Puan juga telah menyampaikan kritik perihal pencairan insentif tenaga kesehatan (nakes).
Kritik memang sah dilakukan oleh siapa pun. Tapi bagi partai pengusung tak bijak rasanya jika dilakukan secara terbuka, konfrontatif seperti menyerang. Bukankah kritik mereka dapat dilakukan secara senyap di internal partai?
Manuver politik PDIP sangat menarik untuk dikaji. Disamping karena tak lazim juga penuh makna. Ada target yang ingin dicapai. Saya memahaminya dengan asumsi-asumsi berikut.
Pertama, soal pencapresan Puan Maharani. Seperti diketahui publik sekarang dalam internal PDIP terjadi persaingan atau rivalitas antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Berdasarkan hasil survei Puan Maharani jelas tertinggal jauh oleh Gubernur Jawa Tengah itu.
Puan pun melakuan berbagai manuver, mulai dari pemasangan baliho seantero nusantara sampai kritik pedas terhadap pemerintah. Harapanya guna meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Dengan mengambil posisi berhadapan dengan Jokowi diharapkan barisan yang tidak suka ke pemerintah bisa bersimpati padanya.
Kedua, soal pencitraan. Soal ini seolah ingin menimbulkan kesan bahwa walaupun pendukung Jokowi, PDIP tetap kritis terhadap pemerintah, khususnya yang menyangkut kepentingan rakyat. Partai Banteng seakan ingin menyamakan posisi dengan rakyat yang sedang menjerit menghadapi kesulitan hidup karena kebijakan PPKM.
Ketiga, mencari aman. PDIP tak mau disalahkan (secarah penuh) karena kegagalan Jokowi tangani pandemi. Dalam hal ini, PDIP ingin cuci tangan. Kesalahan Jokowi jangan sampai berimbas pada partainya secara berlebihan.
Keempat, sebagai peringatan pada Jokowi. PDIP seperti sedang mengirim alarm kepada presiden. Diketahui Jokowi selama ini (terutama dalam penanganan pandemi) terlihat mengabaikan PDIP. Kader PDIP di kabinet tak diberi peran signifikan. Bisa juga sebagai protes PDIP terhadap sinyal kuat dukungan Jokowi pada Ganjar Pranowo, apalagi relawannya sudah terlebih dahulu menyatakan dukungan.
Namun, apapun maksud politik mereka, sejatinya saat ini bukan saatnya bermanuver politik, terlebih politik cari aman. Politik mencari aman itu tak elegan. Tidak bijak. Tidak bertanggung jawab. Politiknya para hipokrit atau kaum munafik.
Semua elemen bangsa sepantasnya bersatupadu, bahu membahu mengendalikan peneyebaran covid 19. Bukankah pilpres juga masih cukup lama? Abaikan dulu kepentingan, ambisi pribadi atau kelompok. Kita kudu fokus hadapi pandemi.
Kritik boleh tapi tak perlu saling memfitnah, menghujat apalagi menjatuhkan. Yang dibutuhkan adalah kerja sama semua pihak. Berilah kepercayaan kepada pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Dukung dengan mengikuti, mematuhi peraturan atau kebijakan yang diterapkan.
Mengutip ungkapan, KH Said Aqil Siradj, tak elok bermanuver poliitik, ngerecokin pemerintah di masa pandemi. Dalam momentum HUT RI ke-76, mari kita tunjukan pada dunia bahwa Indonesia dapat menaklukan COVID- 19. Merdeka. (Penulis, Elang Salamina)