Prabowo Diam, Taktik Maut atau Harakiri?

0 0
Read Time:3 Minute, 27 Second

AdaNews.id-ENTAH apa yang terjadi dengan Prabowo Subianto, semenjak memutuskan diri bergabung dengan koalisi pemerintah dan dipercaya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), lebih banyak diam. Padahal, saat masih sebagai oposisi, Ketua Umum Partai Gerindra ini terkenal vokal dan menggebu-gebu setiap kali mengkritisi atau menyerang pemerintahan Presiden Jokowi.

Tapi, sekarang jangankan berkoar, sekadar menjadi sorotan media pun jarang. Bahkan, saat negara tengah dilanda isu-isu hangat yang membutuhkan turun tangannya selaku Menhan, Prabowo sepertinya enggan ikut campur.

Lihat saja, kala aksi massa terjadi di beberapa daerah menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan keriuhan yang diakibatkan oleh Habib Rizieq Shihab dan FPI-nya. Prabowo bungkam, tak bereaksi apapun.

Apalagi saat anak buahnya membuat gaduh. Misal, mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo diciduk KPK, lalu Fadli Zon dan Habiburokhman mengobok-obok pemerintah dengan cara membela FPI. Prabowo Subianto makin nyungsep.

Tak dipungkiri, sesekali Prabowo melontarkan statement. Namun, itu juga hanya sebatas membela dan memuji-muji kinerja Presiden Jokowi. Tidak lebih.

Beredar spekulasi, diamnya Prabowo tersebut disengaja. Bagian dari taktik politiknya menuju pilpres 2024. Dengan kata lain, putra sulung begawan ekonomi, Soemitro Djoyohadikoesoemo menganggap diam itu emas. Dengan diam, diharapkan mampu menghasilkan sesuatu yang memuaskan.

Setidaknya pendapat ini pernah dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia (LAPI), Maksimus Ramses Lalongkoe. Maksimus memaknai sikap diam Prabowo itu sebagai jurus atau taktik maut. Hal itu dimaksudkan demi memperlancar jalan niatnya merebut dan merangkul massa pendukung Presiden Jokowi.

Dikutip dari Suara.com, Ramses membaca gelagat Prabowo sedang menunggu momentum waktu yang tepat untuk melakukan gebrakan. Dia enggan mengambil langkah gegabah sehingga akan dicap memanfaatkan kursi menteri demi kekuasaan.

“Saya kira dia menunggu waktu yang tepat, sebab jangan sampai dia dinilai presiden menggunakan panggung menteri untuk tujuan pilpres,” tuturnya, Rabu (20/1).

Oleh karenanya, Prabowo terlihat dengan jelas sedang menjaga dengan baik posisinya saat ini. Ia lebih banyak diam untuk mempertahankan posisinya.

“Prabowo Subianto sepertinya sedang menjaga betul kondisi ini dan menjaga basis dukungan Jokowi juga,” pungkasnya.

Bisa jadi apa yang dikatakan Ramses benar. Bila banyak bertingkah, Prabowo bisa saja dinilai caper dan sekadar pencitraan. Hal ini bagi sebagian publik sudah dianggap jualan basi.

Di zaman serba modern dan digitalisasi, informasi begitu cepat dan gampang diakses. Ini yang mungkin dikhawatirkan Prabowo. Bila publik menilai setiap gerak langkahnya hanya demi pencitraan, maka akan menjadi bumerang. Dan, berakibat buruk bagi elektoral politiknya.

Untuk itu, Prabowo mungkin berpikir bahwa diam lebih baik daripada banyak beraksi dan menonjolkan diri, tetapi banyak diserang lawan politik dengan narasi-narasi pencitraan dan lain sebagainya. Dan, publik termakan hasutannya.

Satu hal lagi, Prabowo bisa saja sangat percaya diri bahwa dirinya tidak membutuhkan lagi pencitraan dan popularitas. Dia meyakini seluruh warga negara Indonesia telah mengenalnya. Betapa tidak, dia adalah politisi senior yang berpengalaman dalam ajang pilpres. Dan, sejauh ini elektabilitasnya pun masih terjaga dengan baik.

Bagi Prabowo, daripada gegabah dalam bertindak dan mengancam elektabilitas serta posisinya sebagai Menhan. Diam adalah pilihan. Meski begitu, saya kurang sependapat bila diamnya Prabowo bisa merangkul para pendukung Presiden Jokowi.

Justeru, yang ada dalam benak saya, diamnya Prabowo tersebut bisa menjadi harakiri politik. Harakiri dalam tradisi Jepang adalah bunuh diri dengan cara merobek perut dengan pedang pendek. Kalau diterjemahkan bebas artinya bunuh diri.

Bisa saja publik malah menilai diamnya Prabowo tersebut sebagai sikap manca-mencle dan tidak mempunyai prinsip. Bahkan, bagi sebagian kalangan, stigma ini sudah mendarah daging di hati masing-masing.

Paramater penilaian ini mudah saja ditebak. Yakni, adanya prilaku bersebrangan yang diperlihatkan oleh beberapa anak buahnya di Partai Gerindra. Misal, Fadli Zon dan Habiburokhman. Kedua orang ini kerap mengkritisi pemerintah.

Andai Prabowo memperlihatkan sedikit saja ketegasan dengan cara menegur atau memberi sanksi pada Fadli dan Habiburokhman. Bisa jadi para pendukung Presiden Jokowi akan bersimpati dan mengacungkan kedua jempolnya. Akan tetapi, mantan Danjend Kopasus ini malah cenderung tak peduli. Seolah hal tersebut adalah sebagai salah satu strategi politiknya.

Dengan begitu, taktik maut Prabowo bukan tak mungkin malah jadi blunder. Alih-alih mampu merangkul, yang ada malah ditinggalkan massa pendukung Jokowi.

Bila hal itu terjadi, jelas diamnya Prabowo malah menjadi lonceng kematian karier politiknya. Bukan hanya tidak dilirik massa pendukung Jokowi, tetapi juga ditinggalkan oleh kelompok oposisi yang sejak awal telah merasa dikhianati. (Elang Salamina)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: