AdaNews – Fiat Justitia Ruat Caelum, tegakkan keadilan meski langit akan runtuh, adalah sebuah adagium yang selalu disanjung dimana-mana. Para aparat penegak hukum (APH) selalu bangga mengumandangkannya.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mengukuhkan diri sebagai negara hukum. Pengakuan tersebut menyiratkan sebuah makna bahwa ciri-ciri kehidupan negara ini sejalan dengan hukum.
Hari ini, 77 tahun Bangsa Indonesia merdeka. Sebagai panglima, tidak ada salahnya kita teropong, bagaimana masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum merupakan puncak dari seluruh aktivitas kehidupan hukum. Mulai dari perencanaan, pembentukan, penegakan, sampai dengan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Karena itu, penegakan hukum tidak serta merta dianggap sebagai proses penerapan hukum. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut. Pasalnya, dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita akan melihat, permasalahan hukum yang akan sering terlihat adalah bagaimana hukum itu ditegakkan, bukan pada hukum yang masih dalam bentuk tekstual.
Maaf, penulis harus jujur. Saat ini penegakan hukum di Indonesia masih belum maksimal. Begitu banyak bahkan sangat banyak masyarakat luas mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum. Baik itu dalam pemberantasan korupsi, mafia peradilan, dan pelanggaran hukum lainnya.
Drama kematian Novriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J adalah contoh belum tegaknya penegakan hukum di negara ini. Bertele-tele dan sangat tercium aroma busuk oknum-oknum serta kepentingan di dalamnya.
Mundur kebelakang. Kita tentu masih ingat bagaimana seorang Djoko Tjandra sukses “menampar” kita semua sebagai sebuah bangsa yang mengklaim sebagai negara hukum. Pada kasus itu, banyak sekali aparat penegak hukum yang terseret ke dalam skandal tersebut.
APH sebagai representasi utama wajah penegakan hukum tidak hanya dituntut melahirkan kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan serta ketertiban melalui tupoksinya masing-masing. Kegagalan berbagai APH di dalam mewujudkan tujuan hukum, telah mendorong meningkatnya ketidak puasan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Pada akhirnya memantik turunnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.
Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Agar tujuan hukum tercapai, maka sistem hukum yang terdiri dari struktur, substansi dan budaya hukum harus berjalan dengan maksimal.
Struktur hukum mengacu pada bagaimana Pemerintah dan penegak hukum mengatur masyarakatnya, adapun subtansi hukum merupakan kumpulan norma hukum yang ada, serta budaya hukum sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar pijakan hukum. Yakni, hukum untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebagai sebuah ‘budaya’ yang telah mengakar kuat, bahkan menggurita, pemberantasan korupsi memang akan sulit dilakukan karena akan melawan berbagai kepentingan-kepentingan kelompok yang kuat, terorganisasi secara rapi dalam kelompok-kelompok yang saling menguntungkan.
Untuk membangun budaya anti korupsi, diperlukan penataan ulang terhadap berbagai hal sehingga mampu mengubah cara pengambilan keputusan masyarakat dan mengubah pula perilaku masyarakat dan APH.
Dalam suatu masyarakat bebas korupsi akan tergambar suasana nyaman. Sebut saja, APH sebagai pelayan publik akan merasa bertanggung jawab atas pelayanan mereka, mereka akan merasa takut untuk memungut biaya tidak resmi (Baca : pungli), masyarakat akan mentaati aturan-aturan dengan cara memposisikan semua tindakannya dalam kerangka hukum, masyarakat tidak perlu membayar biaya tidak resmi karena mengetahui, tanpa membayar pun akan dilindungi hak-haknya dalam mendapatkan berbagai pelayanan publik.
Upaya untuk membangun budaya anti korupsi memang memerlukan waktu sangat panjang dan komitmen yang kuat dari para pemimpin, serta pengawasan terus menerus dari masyarakat dan media massa. Karena itu mengharapkan Indonesia mampu memberantas korupsi dan membudayakan perilaku anti korupsi dalam waktu singkat, rasanya mimpi semata. Bahkan upaya tersebut harus tersistem dan dimulai dari bangku sekolah dasar.
Mesti disadari, upaya penegakan hukum tidak semudah membalik telapak tangan. Peristiwa yang sekarang menimpa lembaga hukum diharapkan dapat menjadi sebuah proses untuk menuju terciptanya wibawa hukum di masa yang akan datang. Sikap mawas diri merupakan langkah terpuji yang sejatinya dibarengi dengan upaya-upaya pembenahan yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum. Mulai dari kejaksaan, kepolisian, kehakiman, termasuk lembaga pendidikan hukum.
Sudah saatnya lembaga-lembaga penegak hukum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua program yang telah dicanangkan, agar dapat meminimalisir kendala yang dihadapi. Selanjutnya, melakukan reorientasi visi dan misi lembaga penegak hukum agar lebih mengedepankan keadilan materiil.
Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang hukum sangat dibutuhkan. Di dalam era globalisasi dengan perubahan yang begitu cepat, APH harus tanggap dan melakukan penyesuaian diri untuk meningkatkan kemampuan. Pemahaman yang sama terhadap suatu norma hukum akan sangat mendukung keberhasilan proses penegakan hukum. Koordinasi dan penyamaan persepsi antar lembaga aparat penegak hukum harus segera dituntaskan.
Dalam konteks penegakan hukum, perlu dilakukan penekanan bahwa penegakan hukum merupakan perwujudan isi, jiwa, dan semangat sebuah aturan ke dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siapapun yang telah mewujudkan isi, jiwa dan semangat sebuah aturan dalam kehidupan sehari-hari, dirinya merupakan penegak hukum. Salam
Dirgahayu Bangsaku, Jayalah Penegakan Hukum !
Penulis : Asep Apendi (Ketua KPK Jabar Setda Sumedang)
Ya sepakat equality bifore the law belun 100 presen terlaksana karena implenentasi dalam pelaksanaannya terkesan tebang pilih inkonsiatensi & masih terjadi like or this like dalam arti tebang pilih, hal ini disebabkan faktor mental & moral manusianya karena cenderung dogmatis & finishing touchna dalam penanganab suatu perkara adalah oebentunya materi, Trim’s