Relawan Politik, Mesin Suara (Bukan) Gratisan

0 0
Read Time:6 Minute, 0 Second

AdaNews – Tahun politik 2014 menjadi momen kunci lahirnya kekuatan politik baru yang akan mewarnai ekosistem perpolitikan Tanah Air. Meski tidak memiliki afiliasi secara struktural dengan partai politik (parpol), kelompok ini telah berhasil menunjukkan tajinya dengan mengantarkan idola mereka ke singgasana tertinggi di Republik Indonesia.

Terlalu naif apabila mengatakan, keberhasilan Jokowi Widodo (Jokowi) menjadi Presiden RI ketujuh pada Pilpres 2014 bisa tercapai tanpa adanya campur tangan gerakan-gerakan politik akar rumput. Begitu pula dengan pemilu 2019. Ada jasa besar organisasi relawan politik dalam kemenangan beruntun itu.

Efektivitas gerakan relawan politik ini pernah diukur berbagai lembaga survei. Bahkan, merujuk pada Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam pemilu 2014, ditemukan bahwa jumlah mesin partai yang bergerak pada setiap pemilu hanya berkisar 9 persen saja. Adapun sisanya digerakkan oleh aktor atau entitas lain, salah satunya relawan politik. Hal ini menegaskan betapa krusialnya peran relawan dalam pemilu, sekaligus mengungkapkan, mesin internal partai sudah tidak terlalu efektif dalam memenangkan pesta demokrasi. 

Akibat adanya sekat-sekat ideologis atau citra politisi yang terlanjur buruk di mata masyarakat, mesin internal parpol mengalami kesulitan bermanuver untuk merebut suara para pemilih. Di sisi lain, relawan politik memiliki jangkauan segmentasi pemilih lebih luas dan tanpa sekat, lantaran tidak terikat dengan jejaring parpol.

Tak semua konstituen pemilu mau dekat dan bersedia berdialog dengan elit partai. Oleh sebab itu, diperlukan adanya tangan-tangan lain guna mendekati dan meyakinkan calon pemilih potensial.

Para relawan lah yang dianggap dapat berperan sebagai perpanjangan tangan parpol. Mereka memiliki kesempatan berdialog lebih leluasa dengan sistem pintu ke pintu ataupun mulut ke mulut (getok tular) guna merebut hati pemilih.

Status relawan yang tidak termasuk ke dalam struktur internal parpol dapat dikatakan sebagai sebuah mesin suara partikelir untuk menggaet suara serta dukungan massa. Kendati bersifat partikelir, kemampuan relawan dalam menggalang massa dan opini tak bisa diremehkan.

Kehadiran relawan politik menciptakan tradisi baru di dalam rimba perpolitikan tanah air. Gerakan sosial non-partisan itu terbukti mampu mengacaukan peta perpolitikan yang selama ini didominasi oleh kalangan elit partai.

Pencapresan Jokowi pada 2014 lalu juga tidak terlepas dari campur tangan relawan politik. Bahkan, keberadaannya mampu mengacaukan konsensus “Batu Tulis” antara elit PDI-Perjuangan dan Partai Gerindra. 

Partisipasi Publik

Pada Pilpres 2014, menurut jurnal yang berjudul “Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014” tercatat ada 1.2485 organisasi relawan politik yang terbentuk, baik dengan sistem mandiri maupun inisiasi pihak lain. Mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia tanpa sekat agama, etnis, atau ras (primordialisme).

Hal itu dapat dikategorikan sebagai manifestasi kebangkitan partisipasi publik dalam demokrasi. Dalam buku “The Politics of Volunteering”, Nina Eliasoph turut memaparkan hal yang sama, relawan terbukti bisa meningkatkan partisipasi publik dalam aktivitas demokrasi.

Dalam hal peran, relawan politik bisa menjadi salah satu pilar demokrasi. Artinya, selain bertugas mendulang suara, mereka juga berperan sebagai entitas pengawas (mekanisme kontrol) terhadap kekuasaan negara atau yang lebih dikenal dengan model demokrasi ekstraparlementer.

Selain itu, kemunculan relawan juga menjadi manifestasi kritik publik atas hegemoni partai. Kini, masyarakat tak hanya berpangku tangan dan semerta-merta menerima keputusan parpol mengenai kandidat yang disodorkan. Publik juga memiliki kekuatan untuk mengorbitkan calon lain yang dinilai pantas dan berkapasitas.

Voluntarisme atau Oportunisme?

Pada awal kemunculannya, kompensasi atau imbal jasa terbesar relawan adalah adanya kepuasan psikologis, terutama jika kerja dan dukungan politiknya mendulang hasil positif. Akan tetapi berkat adanya interaksi relawan dengan elit parpol, potensi terjadinya kontrak-kontrak politik jadi terbuka lebar. 

Apalagi dalam politik praktis, semua dukungan politik tidak mungkin diberikan secara cuma-cuma. Tidak ada makan siang yang gratis. Akan selalu ada harga yang harus dibayar.

Pada banyak kasus, para relawan politik memiliki kecendrungan melakukan kompromi agar bisa dimasukkan dalam struktur pemerintahan atau institusi bisnis, usai figur yang diusung menang. Sehingga, sifat kerelawanannya berbelok arah menjadi sangat oportunistik. 

Dalam ilmu politik, fenomena itu disebut dengan Sistem Rampasan (Spoils System). Dengan arti lain, Sistem Rampasan ialah praktik pemberian posisi/jabatan kepada pendukung sebagai hadiah karena telah berjasa dalam memberikan kemenangan bagi parpol. Singkatnya, nepotisme.

Dalam studi yang dinisiasi Transparency International Indonesia (TII), ditemukan bahwa saat ini setidaknya terdapat 44 relawan Jokowi yang menjabat sebagai komisaris BUMN. Fakta itu menegaskan, prinsip Sistem Rampasan memang betul-betul terjadi di dunia politik nasional.

Lantaran statusnya yang tidak terdaftar dalam struktur parpol, mereka bisa meloncat dari satu gerbong ke gerbong lain secara dinamis. Relawan politik bisa bertransformasi menjadi kendaraan kepentingan pragmatis yang memiliki kemampuan mengkalkulasi berdasarkan untung ruginya.

Jika sudah begitu, gerakan yang awalnya dilandaskan pada prinsip voluntarisme seketika berubah menjadi oportunisme, manakala ada imbalan yang dilibatkan.

Inisiasi Publik atau Siasat Partai?

Mulanya relawan politik terlahir dengan semangat sukarela, egaliter, non-elitis, dan militan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, sangat sulit untuk membedakan antara organisasi relawan yang tercipta atas komando partai dan gerakan organik yang digagas publik.

Yang jelas, fungsi utama relawan adalah mendongkrak elektabilitas kandidat tertentu. Untuk memberi kesan (psy-war) seolah-olah figur politik yang didukung dicintai rakyat serta memiliki massa yang masif.

Sementara dalam sebagain besar kasus, manuver itu sengaja direkayasa oleh tim pemenangan, bukan murni kehendak dan inisiatif masyarakat. Gerakan tersebut sengaja didesain secara sistematis guna mendongkrak popularitas kandidat yang diusung untuk memenangkan pemilu. 

Adanya sokongan dana dari elit parpol yang masuk ke kantong relawan, makin membuat batas antara gerakan organik dan siasat parpol menjadi sumir.

Perlukah Diatur?

Prinsip kerja para relawan awalnya sesuai dengan nama, yakni sukarela atau mendukung tanpa adanya balas jasa atau keuntungan tertentu. Akan tetapi, sebagai alat politik, organisasi relawan makin hari makin identik dengan parpol.  Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang melakukan politik transaksional. Fakta itu tercermin dari jabatan tertentu yang diduduki para pentolan relawan setelah sukses mengantarkan jagoannya memenangkan pemilu.

Karena tak terikat aturan-aturan partai, relawan politik mampu bergerak bebas. Mereka juga bisa dengan mudah diterima di kantong-kantong suara lawan karena mereka masuk tanpa embel-embel partai politik.

Selain itu, organisasi relawan politik bahkan dapat lebih bebas berkampanye tanpa harus tunduk 100% pada Undang-Undang pemilu. Padahal, mungkin saja, mereka telah melakukan pelanggaran.

Dr. Marcin Walecki, ahli politik lulusan dari Oxford, mengkategorikan relawan sebagai partai ketiga—organisasi yang memengaruhi hasil pemilu, tetapi ia bukan pelaku atau partai peserta pemilu.

Relawan politik tentu bukanlah entitas yang berbentuk partai politik, kendati aktivitasnya sudah sama dengan parpol, khususnya dalam memobilisasi massa dan sumber dana. Jika begitu, perlukah organisasi relawan diatur?

Kalau mereka terlibat aktif dalam upaya pemenangan kandidat, mereka tak bisa diklasifikasikan sebagai relawan, karena bersifat partisan. Mereka harus tunduk terhadap regulasi atau aturan yang sama dengan yang digunakan untuk mengatur tim kampanye atau tim sukses.

Sebagai konsekuensi aktivitas politik, timbulnya biaya politik menjadi sebuah keniscayaan. Selain memobilisasi massa, relawan tentu tidak bisa dipisahkan dari mobilisasi pendanaan untuk keperluan logistik. Mengingat ongkos politik yang sangat besar, pendanaaan swadaya dari masyarakat kerap kali tidak cukup.

Belum lagi apabila terjadi pelanggaran, relawan politik yang tidak mempunyai struktur organisasi baik dan tanpa payung hukum, tentu akan sangat sulit untuk ditertibkan. Kealpaan regulasi akan membuat mereka bermanuver liar tanpa adanya mekanisme kontrol.

Pada momen itulah, regulasi terhadap organisasi relawan politik menemui konteksnya. Mereka harus transparan dan akuntabel mengenai laporan keuangan dan struktur organisasinya.

Dengan adanya regulasi yang mengatur serta mengharuskan organisasi relawan politik untuk mendorong upaya-upaya transparansi dan akuntabilitas, adanya pelanggaran terkait aktivitas pemilu bisa ditekan seminimal mungkin. 

Lahirnya regulasi bagi relawan juga sekaligus bisa menjadi mekanisme edukasi yang dapat mendewasakan para pelaku politik di Indonesia, tanpa terkecuali.

 

Penulis : Elang Salamina

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: