Saat Suamiku Ingin Mendua

0 0
Read Time:5 Minute, 2 Second

Oleh : Anna Diana

Anna Diana

“Dik, kalau aku poligami bagaimana?” Pertanyaan yang entah sudah berapa kali Mas Fatur ucapkan.

Dulu, aku kira pertanyaan itu hanya sekedar bercanda, atau sedang menguji emosiku. Biasanya para lelaki bertanya macam itu hanya ingin mengetahui reaksi istrinya. Tetapi, makin hari, aku merasakan pertanyaan itu bukan lagi sekedar candaan.

Akhir-akhir ini sering aku lihat Mas Fatur yang senyum-senyum sendiri menatap ponselnya. Hal yang dulu jarang dia lakukan. Begitu pula penampilannya. Minyak wangi tidak pernah absen digunakan sekarang. Dulu, hanya deodorant untuk mencegah bau badan.

Senandung riang macam ABG jatuh cinta setiap kali pulang kerja. Membuatku berpikir suatu yang tidak biasa. Insting seorang istri itu terkadang melebihi CIA. Hanya dengan mengamati perubahan itu, bisa mengungkap sesuatu yang ditutupi dengan rapat.

“Kamu serius ingin poligami, Mas?” ucapku menjawab pertanyaan itu. Jika biasanya setiap kali dia bertanya masalah itu aku abaikan, tidak dengan sekarang. Ada bola api yang meminta untuk ditangkap.

“Apa kamu mengijinkan?” tanyanya balik.

“Tergantung. Memang kamu punya calon buat jadi maduku,” tanyaku memancing.

“Belum, tetapi jika kamu menginginkan aku akan mencarinya. Semua ini semata-mata aku lakukan demi mengikuti sunah nabi,” ucapnya yang membuatku tiba-tiba merasa mual.

Sunah nabi katanya! Alasan yang sering diucapkan pemuja syahwat untuk membenarkan perbuatannya. Padahal, nyatanya zonk. Bicara poligami butuh ilmu. Tidak sembarangan seperti yang biasa diucapkan para kucing garong itu.

Sejak percakapan itu, Mas Fatur makin terlihat beda. Senyum tidak lepas dari wajahnya tiap kali menatap ponsel. Sampai hari ini dia pulang dengan membawa seorang perempuan di hadapanku.

“Dik, perkenalkan ini Laila. Calon madumu,” ucap Mas Fatur dengan senyum terkembang.

Ada yang berdenyut nyeri melihat ini semua. Senyum ceria yang dulu hanya milikku, kini dibaginya untuk orang lain. Tetapi, untuk marah, bukan karakterku seperti itu. Apalagi mencaci-maki sesuatu yang diperbolehkan agama. Siapa aku menentang sesuatu yang Tuhan halalkan dan ijinkan.

Mataku memindai perempuan ini dari atas sampai bawah. Manis wajahnya, dengan hidung mancung dan dagu lancip mirip perempuan keturunan Timur Tengah.

“Saya Laila, Mbak,” ucapnya mengulurkan tangan padaku.

“Azzura,” jawabku menyambut tangannya.

“Laila aku kenal di biro jodoh ta’aruf online, Dik. Aku sudah menceritakan semua tentang keluarga kita.” Mas Fatur dengan semangat menjelaskan tentang istri mudanya.

“Jadi kalian belum pernah ketemu atau jalan berdua sebelumnya,” tanyaku.

“Belum,” jawab mereka serentak. ” Hari ini untuk pertama kalinya kami bertemu, setelah janjian kemarin,” ucap Mas Fatur lagi.

Aku hanya memasang senyum terpaksa mendengar penuturannya. Pura-pura tidak tahu kadang perlu. Sekedar memberi jeda waktu pada lawan untuk merasa menang. Sampai tiba waktunya menyerang balik dengan jawaban yang tidak pernah mereka bisa pikirkan.

Belum pernah bertemu ngakunya. Tanpa mereka sadari saat dua orang itu datang bergandengan tangan dengan mesra aku melihatnya. Begitu pula saat mereka tiba-tiba memasang jarak saat akan masuk rumah.

“Laila, kamu siap jadi yang kedua?” tanyaku pada perempuan itu.

“Insyaallah, siap, Mbak,” jawabnya percaya diri. Sesekali matanya melirik pada Mas Fatur.

Sedangkan lelaki yang masih berstatus suamiku itu tersenyum penuh puja pada wanita yang duduk di hadapan kami.

“Mas Fatur, benar-benar siap untuk poligami? Syarat utama poligami harus bisa adil pada istri-istrinya.” Kali ini aku bertanya pada suamiku.

“Insyaallah, aku siap, Dik. Aku akan adil pada kalian berdua.” Jawaban percaya dirinya perlu diacungi jempol.

“Baiklah jika begitu. Mas Fatur tentu ingat, dulu awal kita menikah, kamu hanya penjual bakso keliling. Tinggal di kontrakan sempit yang kamar mandinya harus antri dengan yang lain. Pendapatanmu berkisar antara tiga puluh sampai seratus ribu. Aku harus bantu bekerja untuk bisa bayar kontrakan. Sampai akhirnya Kak Hannan, kakakku, pulang dari Kairo memberi kita bantuan modal untuk membuka kedai bakso sendiri. Dia pula yang membantu mencarikan tempat yang strategis untuk berjualan. Hingga usaha kita bisa seperti ini. Hidup kita berubah. Empat tahun lamanya kita hidup susah dalam kontrakan itu. Tentunya kamu ingat, Mas,” tuturku mengingatkan Mas Fatur perjalanan hidup kami.

“Aku ingat, Dik.” Kali ini aku lihat mas Fatur menunduk dengan nada bicara lirih. Tidak seperti tadi.

“Kalau memang kamu ingin poligami dan berkata mau adil pada kami berdua, jika kalian menikah nanti, ajak tinggal istrimu ini di kontrakan sempit dan beri nafkah tiga puluh ribu sehari. Seperti yang kamu lakukan dulu padaku.”

Laila mendongak menatapku tidak percaya. Mulutnya menganga seperti mendengar cerita tentang hantu. Begitu juga Mas Fatur yang mulai tidak tenang.

“Mana bisa begitu, Dik? Sekarang keadaan kita sudah berbeda. Omset penjualan kita perbulan lebih dari lima juta. Mana mungkin aku memberi nafkah tiga puluh ribu sehari untuk Laila. Mengajaknya tinggal di kontrakan,” sanggah Mas Fatur.

“Bukankah kamu bilang akan bersikap adil pada kami? Selama empat tahun dulu aku hidup dalam keterbatasan bersamamu. Kenapa Laila tidak? Rugi dong aku? Apa Laila hanya ingin hidup enak saja?”

Mas Fatur mengusap wajahnya kasar. Beberapa kali mereka saling pandang. Dari sorot matanya, Laila seakan meminta Mas Fatur menolak permintaanku.

“Tapi, Dik …!”

“Bisa adil atau tidak? Atau tidak jadi poligaminya?” selaku memotong ucapannya.

“Maaf, Mbak Zura. Saya tidak mau jadi istri kedua Mas Fatur kalau begitu ceritanya. Permisi!” ucap Laila beranjak keluar dari rumahku.

“La … tunggu, La!” Mas Fatur berlari mengejar calon istri mudanya.

Calon istri mudanya yang dia akui baru bertemu. Padahal, aku tahu mereka setiap hari saling chating mesra. Juga Videocall tanpa menutup auratnya. Itu yang membuat suamiku senyum-senyum setiap menatap ponselnya.

Wanita yang katanya siap jadi istri kedua dan menerima apa adanya. Kenyataannya hanya ingin hidup enak secara instan tanpa mau merasakan susahnya perjuangan. Laila tidak ubahnya seperti perempuan pelakor lain, yang hanya melihat kemapanan laki-laki. Tanpa peduli jatuh bangun seorang istri menemani suaminya berjuang dari nol. Seandainya dia menerima ketentuanku, aku akan memberi ijin Mas Fatur poligami. Sayangnya wanita pilihannya tidak ubahnya ulat berbulu, yang hanya mau uang tanpa mau berjuang.

HK, 21 Oktober 2021

Bionarasi :
Anna Diana, punya nama asli Dewiana. Seorang ibu rumah tangga dengan seorang anak. Lahir dan besar di Madiun. Menulis baginya cara terbaik untuk mengungkap isi hati. Tanpa perlu orang bertanya siapa dan mengapa. Dengan menulis pula, kita bisa menjadi orang yang lebih bijak dalam memilih dan memilah kata. Sudah menerbitkan beberapa antologi dan e.book. Jika tertarik bisa dilihat di play store dengan nama Anna Diana.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

One thought on “Saat Suamiku Ingin Mendua

  1. Terima kasih Mbak Anna Diana, sudah mengirim cerpen ke rubrik kami. Sukses selalu ❤️❤️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: