SEBATAS LUKA

0 0
Read Time:9 Minute, 11 Second

Oleh : Siti Auliya

Siti Auliya

“Aku pergi dulu!”

Aku hanya mengangguk dan membiarkan Heru mengecup keningku. Kuantarkan dia sampai mobilnya. Memandangnya sampai hilang di belokan jalan.

Tok tok tok!
Suara ketukan pintu yang teramat keras, mengurungkan niatku untuk masuk kamar. Bergegas lari ke arah pintu, berpikir kalau Heru kembali lagi.

Satu tamparan menghadiahi mukaku begitu pintu terbuka. Aku limbung, mataku terasa berkunang-kunang. Terlihat ada dua orang wanita cantik di depanku kini.

“Rupanya kau orangnya, wanita jalang!” Satu dari perempuan cantik itu memaki diriku.

“Namaku Ardhia, Mbak siapa?” Aku memperkenalkan diri sekaligus bertanya.

Plak!
Kembali tamparan aku terima tanpa sempat mengelak … perih.

“Aku Sinta, kau pasti tahu siapa aku?”

Aku mengerti kini, wanita di hadapanku adalah tunangan Heru. Heru pernah bercerita tentang Sinta.

Merasa tidak mendapat perlawanan, Sinta kian beringas. Dia hendak menjambak rambut panjangku. Kali ini aku melawan. Tangan kananku melindungi kepala, tangan kiri mengambil tangan wanita tersebut. Kupelintir, kemudian kudorong ke arah tembok.

Dukkk.
Punggung wanita itu menghantam tembok, matanya kulihat kian menyala geram.

“Sinta!” Wanita satunya lagi memburu ke arah tunangan Heru. Rupanya ia bermaksud menolong Sinta.

Sinta sepertinya kalap, menepiskan tangan sahabatnya. Dia maju menabrakkan tubuhnya ke arahku. Begitu mudah kuhindari, sehingga Sinta kembali menabrak tembok. Kali ini tubuh Sinta ambruk.

Aku menatapnya, harga diriku tidak akan kubiarkan diinjak-injak Sinta. Namun, tiba-tiba pandangan mataku kabur.

“Mengapa dia kau bunuh?” Samar-samar masih terdengar olehku suara tunangan Heru. Selanjutnya dingin dan gelap.

Suara orang memaki menyadarkanku. Rupanya Heru sudah ada di sampingku. Kudapati diriku terbaring di kasur dalam kamar.

“Bodoh! Mengapa kau melawan?” bentak Heru. Dia sangat marah saat tahu, aku melawan Sinta.

“Ceritakan padaku! Apa yang terjadi?”

Aku memandang Heru. Berharap dia mau menceritakan kejadian yang menimpaku.

“Dengarkan!” Heru masih marah.

**

Aku pulang kembali saat menyadari HP-ku tertinggal. Aku mendengar suara ribut-ribut. Sepertinya itu suara Sinta. Aku berjalan mendekat, kemudian mengintip dari celah pintu. Benar saja, terlihat Sinta sedang bergulat denganmu. Rupanya kamu lebih unggul, Sinta berhasil kamu dorong. Itu membuat Sinta semakin kalap. Kulihat kamu tetap melawan. Saat itu teman Sinta mengambil sapu ijuk. Gagangnya ia pukulkan ke kepalamu. Brukkk … kamu pun akhirnya pingsan.

“Mengapa dia kau bunuh!?” Kudengar Sinta bertanya kepada temannya.

Saat itulah aku menghambur masuk, memburumu yang terjatuh ke lantai. Kulihat Sinta sangat pucat wajahnya.

“Heru.” Sinta berkata dengan paras ketakutan.

“Pergi!” Aku usir mereka. Mereka pun pergi, kemudian aku menggendongmu ke kamar ini.

**

Ooh rupanya seperti itu ceritanya, batinku sambil mengusap kepalaku.

Sinta adalah tunangan Heru karena perjodohan. Sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan gadis itu. Entah darimana dia bisa tahu tempat ini.

Aku adalah seorang perempuan yang dijual bapakku sendiri untuk melunasi hutang-hutangnya. Heru adalah salah satu pembeliku. Dia menjadikan aku wanita simpanan.

Masih kuingat, sebulan yang lalu.
Di hadapan pagi yang teriris gerimis. Kata-kata bapak ringan seperti jingkat petir yg melintas tajam. Seperti sengaja membendung air mata. Menjadikanku berkeping dan remuk, lunglai jalanku menuju butiran debu. Ketika melihat kebuntuan cakap antara bapak dan penagih hutang.

“Bawa saja dia!” Bapak berkata sambil menunjuk kepadaku yang duduk terpekur. Sesungguhnya, aku ingin menengok sisa obrolan yang telah lalu, tentang perjanjian itu.
Sekadar membetulkan bait-bait salah. Meski aku yakin kata-kataku tak akan ada artinya.

Sejak saat itu aku menjadi pemuas mereka, dijual Harso –si penagih. Mereka pelanggan rumah bordil di kota. Berdandan secantik bidadari setiap malam. Berdiri penuh senyum kepalsuan di antara asap rokok dan bau minuman. Sampai akhirnya Heru menemukanku.

“Dia anak kolega bapakku,” kata Heru memutuskan lamunanku. “Harusnya kau tidak melawan, Ardhia. Bisa bangkrut perusahaan bapakku kalau begini!”

Heru masih saja memaki-maki. Lama-lama panas kupingku mendengar cercaannya. Terbit amarahku. Diam-diam kukumpulkan kekuatan untuk melawannya. Biarlah mati berkalang tanah, daripada hidup berkubang nista. Aku bangkit sambil menendang selimut.

Dukkk!

Sebuah tonjokan yang kulayangkan berhasil membungkam mulut Heru.

“Kau … kau, berani sekali!” serunya tak percaya. Saat itu pula Heru mengambil sabuk dan melecutkannya ke tubuhku.

“Aw sakit … ampun … ampun!” Jeritanku tidak meredakan amarah Heru. Pecutannya berhenti, saat aku terkapar tak berdaya. Dengan bilur-bilur merah di sekujur tubuh.

Heru pergi meninggalkanku yang sekarat. Secuil tenaga penghabisan berhasil membawaku ke tempat tidur. Aku tertidur dengan tubuh terasa hancur.

Satu usapan lembut membangunkanku. Ia menyentuh tanganku. Rasa sakit di sekujur tubuh menyongsong. Aku mencoba bangkit.

“Jangan bangun dulu, ini minumlah!” Segelas teh manis ia sodorkan kepadaku.

“Sarah, sejak kapan kau di sini?” tanyaku.

“Sejak Heru pergi … kau mau tahu ceritanya?”

“Baiklah,” ujarku sambil duduk.

Sarah –tetangga depan rumah ini mulai bercerita. Aku menyeruput teh yang dia buat untukku.

**

Hari sudah siang. Engkau melihat kedatangan dua orang wanita ke rumah Ardhia. Engkau tidak jadi menghampiri walau mendengar mereka ribut, sebab Heru datang. Lama hening, sampai engkau mendengar teriakan Ardhia minta ampun. Cepat-cepat engkau mendatangi rumahnya. Masuk lewat pintu depan yang terbuka. Mengintip lewat celah pintu. Terlihat Heru sedang mencambuknya tanpa ampun.

Engkau bersembunyi di balik tembok, saat Heru keluar rumah. Lama engkau bersembunyi, takut Heru kembali. Akhirnya engkau masuk ke kamarnya. Melihat dia sedang tidur. Engkau menunggunya bangun, sambil membuatkan minuman hangat. Lama sekali dia tidak bangun-bangun. Takut dia pingsan, akhirnya engkau menyentuh tangannya agar terbangun. Engkau lega saat dia mengenal dan memanggil namamu, Sarah.

**

“Terima kasih, Sarah. Aku ingin pergi dari sini.” Aku mencoba bangkit, di benakku tergambar satu siasat. Aku akan minta tolong Sarah untuk mengantar ke terminal.

Percuma aku di sini, aku hanyalah samsak hidup bagi Heru. Suatu hari nanti dia akan menutup hatinya. Aku ibarat terminalnya, tempat dia melampiaskan segala ego. Menemani dalam kekalutan yang tak terlihat.
Lalu dia akan memilah dan memilih sesuai tujuan awalnya. Catatan-catatan yang melimpah cerita, demi sebuah masa esoknya. Aku hanya akan menjadi sosok yang menggelitik memori. Manakala dia buka potret-potret pada rekam jejak hidupnya.

“Tunggu sampai kau pulih,” saran Sarah.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Memang seharusnya pulih dulu. Setidaknya harus kuat berlari kalau Heru mengetahui pelarianku. Aku juga membiarkan Sarah pulang, meninggalkanku sendiri.

Malam ini Heru tidak pulang. Aku tidak lagi peduli. Dia tak kembali lagi pun tidak akan kucari. Sampai hari pagi dan malam datang lagi dia tidak kunjung pulang.

Uang yang selalu aku kumpulkan, membawaku duduk melamun kini di sebuah bis. Perjalanan yang akan membawaku ke desa kembali. Di sepanjang jalan terlihat pohon-pohon yang meranggas. Kemarau telah merenggut semua daunnya, sehingga berguguran.

Ibuku menangis saat aku datang. Dia membaluri tubuhku dengan beras kencur. Perih sekali rasanya namun hatiku lebih perih lagi. Membusuk dan tak mungkin sembuh lagi.

“Mana uangmu, Ardhia? Sini Bapak minta!”

“Uang apa? Bukankah uangnya sudah Bapak ambil dari Harso. Dia sudah menjualku seharga seratus juta, apa masih kurang!?” Aku berteriak sambil menangis.

“Bangs*t, dia cuma memberiku lima juta lebihnya, padahal utangku cuma sepuluh juta!” Bapak mengamuk. Sebuah kursi reyot menjadi sasarannya, dibantingkan ke lantai. Hancur seperti hatiku saat ini. “Besok kau harus pergi lagi ke kota, cari duit yang banyak, kalau perlu jual lagi dir ….”

“Pak! Nyebut, Pak … nyebut!” teriak ibu memotong perkataan lelaki itu.

“Aaah!” Dengan membanting lagi kursi, bapak pergi.

Aku keluar rumah sambil menangis. Berjalan membawa sakit hati ini. Entah ke mana harus kubawa. Pundakku ternyata terlalu lemah untuk memikulnya, Tuhan.

Akhirnya aku duduk dalam kegelapan, menengadah memandang bintang. Badan terasa remuk redam. Aku mengadukan semuanya kepada malam. Kembali kantung mataku dipenuhi air, mengalir tanpa diminta membasahi pipiku. Sakit raga dan jiwa seperti menyentuh langit rasanya.

Aku pulang berharap sebuah perlindungan dari bapak. Orang yang seharusnya paling depan membela. Namun, dia malah memintaku untuk menjual diri kembali.

“Aaah, aku benci!” Suara teriakanku keras seperti menembus langit. Membawa segala keluh kesahku.

“Ardhia … kaukah itu?”

Aku seperti tersambar petir, mendengar suara yang begitu kukenal. Aku memalingkan muka. Rasanya ingin sekali melebur bersama malam. Diriku saat ini, tidak ingin bertemu dengan si pemilik suara. Seandainya bisa, aku ingin berubah menjadi angin, menyelinap pergi tanpa diketahui.

“Ardhia?” Ia masih mengulangi pertanyaannya.

Aku menghapus kesedihan dari mataku. Seulas senyum kupaksa untuk tampil sempurna di bibirku. Pemilik suara itu adalah pengisi mimpiku selama ini. Sebelum petaka ini mampir memporak-porandakan hidupku.

“Fauzi,” sapaku sambil tersenyum.

Nasib baik, malam begitu kelam sehingga sang pemilik mimpi tidak melihat bilur-bilur merah di tubuhku. Noda yang harus kusembunyikan dari siapa pun. Jawaban apa yang harus aku berikan. Seandainya Fauzi bertanya dari mana tanda penganiayaan itu berasal.

“Aku mencarimu saat kau tidak datang mengaji. Ibumu bilang kau pergi ke kota untuk bekerja. Benarkah?” tanya Fauzi.

“Benar.” Aku menjawab pendek. Aku berdiri, ingin pergi dan meninggalkan pemuda itu. Rasa malu hadir kala menyadari betapa kotor diriku kini.

Aku melangkah meninggalkan Fauzi. Pemuda di depanku itu sejenak tertegun melihat aku tidak ingin berlama-lama dengannya.

Aku terus melangkah meninggalkannya. Bergegas langkahku, sebelum bilur-bilur itu meninggalkan banyak jejak dengan pertanyaan-pertanyaan Fauzi.


Matahari bersinar dengan sombongnya. Tanah pecah-pecah serta kekeringan mengiringi kepergianku. Aku hanya pamit kepada ibu saja. Memeluk sebentar karena tidak tahan untuk tidak menangis. Aku bertekad untuk menjadi wanita kuat sejak saat ini. Aku tidak ingin menjejakkan kembali kakiku di kampung ini. Dendam sudah menguasai jiwaku kini. Semalam bapak sudah berbicara lagi dengan keras.

“Kamu harus kembali ke kota, Ardhia! Mau menjual diri pun aku tak peduli,” kata bapak.

Seperti biasa aku hanya diam. Merasakan sakit di sekujur tubuh akibat lecutan. Kini bertambah pula dengan kata-kata dari bapak. Biad*b! Aku memaki dalam hati.

Aku menyembunyikan wajahku di antara kursi bis dan kaca jendela. Entah ke mana tujuan perjalananku nanti. Aku hanya naik bis jurusan Jakarta. Sudah lama aku mendengar tentang kota itu. Kota yang menawarkan segala impian, sekaligus kota yang kejam, sekejam ibu tiri. Lantas lebih kejam mana kota itu dengan bapak? tanyaku dalam hati.

Aku hanya mampu tersenyum kecut. Mungkin wajahku pucat karena kurang tidur semalam. Aku harus memikirkan tujuan hidupku. Tanpa diundang si penabur mimpi itu datang merecoki pikiranku.

Braaak.
Bunyi sangat keras itu memekakkan telinga ku. Tiba-tiba si penabur mimpi datang. Tersenyum ke arahku. Perlahan-lahan kupejamkan mataku. Dia membawaku melayang entah ke mana.


Kini, aku menabur bunga di pusaramu, Ardhia. Tadi pagi aku ke rumahmu. Ibumu bilang, engkau baru saja pergi. Secepatnya aku menyusulmu. Masih kulihat bis yang engkau tumpangi. Aku melihatmu tersenyum ke arahku. Saat aku berhasil mengejar bis itu dengan motorku. Namun, tiba-tiba kudengar suara kencang sekali.

Braaak.
Bis yang engkau tumpangi oleng, Ardhia. Terbalik karena menabrak pembatas jalan. Sepertinya sopirnya mengantuk. Cepat-cepat aku memburu. Kucari dirimu di antara penumpang lainnya. Aku berhasil menemukanmu. Engkau tersenyum sambil menggenggam tanganku dan menutup mata selamanya.

Maafkan aku, Ardhia. Aku terlambat menyadari cinta kita.

“Fauzi, ayo kita pulang!”

Ibumu mengajakku pulang, Ardhia. Aku berjanji akan menaburkan bunga setiap hari untukmu. Tidurlah dengan damai, kekasihku!

Tasikmalaya, 13 Mei 2022

Bionarasi
Siti Auliya adalah nama pena seorang wanita kelahiran Tasikmalaya. Penyuka literasi sejak duduk di sekolah dasar. Sekarang mencoba menjadi penulis di platform-platform luar dan dalam negeri. Seperti Fizzo, StarFm, Finovel, Goodnovel, KBMapp, Hinovel, Sago dll. Di samping penulis novel digital, ada juga beberapa antologi cerpen dan puisi. Di antaranya Cinta Tak Bersyarat, Merajut Asa dan Jejak Masa Lalu. Ada juga novel anak yang berjudul “SIERRA DI NEGERI PERI” bisa didapatkan dengan chat penulis langsung atau di shopee. Jika ingin mengenalnya silahkan mampir ke Facebook dengan nama akun Siti Auliya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: