SP3 Kasus Chat Mesum HRS Dicabut, Ada Unsur Politik?

0 0
Read Time:3 Minute, 45 Second

AdaNews.id-MIRIS nian nasib Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS). Kepulangannya ke tanah air setelah menetap tiga tahun lebih di Negara Arab Saudi berbuah petaka.

Setibanya di tanah air yang disambut ratusan ribu pendukungnya, HRS langsung disentil selebritis tanah air, Nikita Mirzani. Artis sarat sensasi ini menyebut pimpinan FPI tersebut tukang obat.

Rupanya ini awal petaka HRS. Bukannya sadar dan paham dengan sindiran tersebut, yang ada malah seperti menantang. Nikita diserang balik dengan sebutan lonte. Dan, kerumunan massa di tengah pandemi terus dilakukan.

Setidaknya ada tiga kegiatan kerumunan massa pasca penjemputan. Yaitu, akad nikah putri HRS, peringatan maulid nabi dan peletakan batu pertama bangunan Mesjid Markaz Syariah, Megamendung, Bogor.

Tidak adanya tindakan dari pemerintah makin membuat HRS dan pendukungnya terlena. Rencananya mereka akan menciptakan kerumunan massa yang jauh lebih besar. Yaitu, reuni akbar PA 212. Rencananya acara ini bakal digelar di Monas, Jakarta.

Sebelum terwujud, pemerintah keburu bangun dari tidurnya. Melalui aparat keamanannya, TNI dan Polri langsung bertindak tegas. Atribut HRS dicopoti, reuni akbar tidak diberi izin, dan HRS pun akhirnya ditahan. Pimpinan FPI tersebut sebelumnya dua kali mangkir dari panggilan Polda Metro Jaya.

Meski ditahan, masih ada segumpal harapan dari pendukungnya bahwa HRS bakal bebas. Caranya melalui aksi massa menuntut pembebasan sang habib di berbagai daerah. Namun, pemerintah kali ini sudah tak mau kompromi. Seluruh aksi massa, termasuk aksi 1812 gagal total. HRS tetap saja mendekam dalam penjara.

Kemudian, tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba pihak PTPN VIII melayangkan surat somasi terhadap HRS atas berdirinya bangunan Pondok Pesantren Agrokultural Markaz Syariah, Megamendung, Bogor. Ternyata lahan yang selama ini dijadikan pesantren milik HRS tersebut merupakan lahan dari perusahaan tersebut. PTPN memberi waktu tujuh hari sejak somasi dilayangkan, agar pengurus pesantren dan yang lainnya segera angkat kaki. Bila tidak, akan dilanjutkan proses hukum.

Dari rentetan peristiwa di atas, sudah jelas bahwa pemerintah sudah tidak ingin main-main lagi dengan HRS dan FPI. Pemerintah menghendaki segala sengkarut ini segera dihentikan.

Namun, sepertinya nasib apes HRS tak berhenti di situ. Tadi sore, pada program acara Kabar Petang TV One, ada berita yang cukup mengagetkan penulis. Kasus chat mesum yang melibatkan HRS dan FH pada tahun 2017 sepertinya bakal dibuka kembali. Padahal, kasus ini sebenarnya telah dihentikan Polda Metro jaya tahun 2018 lalu lewat SP3 (Surat Perintah Penghetian Penyidikan).

Merasa tertarik dengan berita ini, penulis coba membuka portal-portal berita yang ada di media online. Benar saja, SP3 kasus HRS-FH telah dicabut. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suharno.

Dikutip dari Tribunnews.com, Suharno mengatakan, putusan dicabutnya SP3 itu diketok oleh hakim tunggal Merry Taat Anggarasih. Putusan perkara nomor 151/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel tersebut pada intinya mengabulkan permohonan untuk melanjutkan penyidikan.

“Tindakan penghentian penyidikan itu tidak sah menurut hukum dan memerintahkan termohon untuk melanjutkan proses penyidikannya,” kata Suharno. Selasa (29/12).

Bukan hendak membela HRS, sepertinya nasib apes pimpinan FPI ini seperti telah direncanakan. Ada skenario besar untuk membungkam HRS dan FPI. Dengan kata lain, semua ini terjadi bukan karena kebetulan.

Pembungkaman ini tentu ada alasan kuat. Setidaknya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Diduga ada unsur politik dalam hal ini. Dalam pandangan sederhana penulis setidaknya ada beberapa alasan logis, sehingga HRS perlu dibungkam.

Pertama, bisa jadi ini pengalihan isu atas simpang siur tewasnya enam laskar FPI oleh aparat kepolisian Polda Metro Jaya di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Setelah Komnas HAM menggelar jumpa persterkait bukti-bukti temuannya di lapangan, Senin (28/12), muncul framing-framing yang menyudutkan pihak kepolisian.

Jelas jika framing ini terus berkembang bakal cukup menggangu citra kepolisian itu sendiri. Maka, masyarakat perlu disuguhi ‘menu” berita baru sebagai bahan diskusi atau perbincangannya.

Kedua, ada kemungkinan mengandung unsur kepentingan politik Pilpres 2024. Maksudnya dengan dibukanya kasus lama HRS dan terbukti secara hukum, bisa jadi membuat ancaman hukumannya semakin panjang.

Dengan begitu, HRS tidak bisa bergerak bebas memberikan dukungan terhadap calon yang bakal diusung oleh kelompok oposisi. Bagaimanapun, bila HRS berada di luar dikhawatirkan politik identitas kembali terulang. Dan, bohir seperti yang selama ini sering dikaitkan dengan HRS tidak akan bisa lagi berbuat banyak dalam mengobok-ngobok pemerintah.

Ketiga, tentunya ini yang paling logis. Pemerintah ingin membuat HRS dan FPI semakin lemah dan akhirnya pecah atau bubar dengan sendirinya. Cara paling efektif tentu saja dengan membungkan pimpinannya.

Itulah pandangan sederhana penulis terkait nasib apes yang menimpa HRS dalam kurun waktu berdekatan. Asumsi ini sangat mungkin akan berbeda dengan para pembaca di luar sana. Tidak apa, namanya juga negara demokrasi. Kita bebas berpendapat, bukan? (Elang Salamina)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: