Sudut Pandang:Demokrat, BuzzerRp dan Kominfo Bareng Siberkreasi Gaet Influencer

0 0
Read Time:3 Minute, 47 Second

AdaNews-Cukup menggelitik apa yang ditampilkan Partai Demokrat dalam mencari panggung di tengah pandemi. Usai gagal maning-gagal maning dalam aneka isu dan narasi, kini mereka menyasar pada yang mereka labeli buzzer Rp. Entah siapa yang dimaksud, tetapi era digital dan media sosial yang kian maju susah ditolak, kecepatan tangan dan jari mengetik menjadi lebih unggul.

Menduga-duga bahwa apa yang mereka labeli adalah para pembela Jokowi, di mana nama ini adalah sasaran tembak mereka. Artikel ini tak hendak mengupas siapa buzzer Rp, karena toh tidak jelas dan gamblang juga. Pembela Jokowi itu ada yang karena merasa gerah bahwa rival politik menggunakan hukum rimba, bar-bar, dan menggunakan segala cara.

Jokowi sebagai pribadi Jawa banget, jelas tidak akan pernah membalas, merespon, ataupun mengeluh. Kesempatan yang ada ini mereka jadikan keuntungan. Nah, lahirlah para pembela-pembela dengan aneka bentuknya. Saya yakin jauh lebih banyak yang non bayaran, dari pada yang dibayar sebagaimana tudingan pihak-pihak yang ada pada posisi oposan dan barisan sakit hati.

Jokowi yang tidak peduli karena fokus bekerja membuat pihak-pihak itu seolah-olah menang. Padahal mereka melupakan falsafah Jawa yang ada. Itu hak mereka.

Pada sisi lain, pandemi dan merebaknya covid-19 telah mengubah banyak sekali hal yang sebelumnya masih sebatas wacana. Digitalisasi dalam banyak aspek kehidupan. Pendidikan jelas, bekerja sudah mulai dominan, perdagangan mau tidak mau, dan itu semua siapa sih yang siap? Tidak ada.

Pandemi tiba-tiba datang dan semua harus siap. Kominfo memegang peran penting dan krusial. Kerja lelet seperti era-era lama, rakyat dan bangsa yang menjadi korban. Syukur bahwa semua itu bisa terkendali dan berjalan dengan baik, lancar, dan relatif tidak menjadi kendala. Kerja keras bisa menjembatani apa yang perlu dilakukan dengan segera.

Pembangunan infrastruktur untuk tol udara tidak berhenti dan malah makin kenceng demi negara bisa menggeliat dalam aneka hambatan karena pandemi. Anak-anak sekolah, sedikit banyak tidak terlalu parah ketinggalan.

Dunia digital, utamanya media sosial dan media daring menjadi panglima di tengah begitu banyak hambatan dan pembatasan. Aman, nyaman, dan tentu saja sesuai program untuk di rumah saja. Hal yang perlu banyak penyesuaian, kala perilaku hidup dan bermedia sosial anak bangsa ini masih jauh dari harapan.

Merasa bahwa itu dunia maya, biasa dan sangat mungkin abai etika. Karena berjarak dan tidak bertatap muka, berani untuk apa saja, termasuk memfitnah, menyebarkan berita bohong, atau mencela sana-sini.

Ini bukan ranah benar salah, namun patut atau tidak patut. Penilaian etis atau moral berperan. Maka, kadang susah menjerat dengan UU ITE. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Jefri Nichol yang menyoroti soal etika bermedia sosial. Hal itu dikatakan kala Kominfo bersama Siberkreasi mengadakan acara zoom, pada Sabtu, 31 Juli 2021 lalu.

“Ketika kita menjadi diri sendiri, maka kita tidak membohongi orang lain dan membuat orang memiliki ekspektasi yang salah atas diri kita,” kata Jefri. (CNNIndonesia.com).

Apa yang terjadi di dunia digital, dunia maya, dan dunia media sosial itu sejatinya sama dengan dunia nyata. Karena orang masih gagap teknologi, orang kadang abai dan lupa bahwa masih ada batasan-batasan yang sama dengan dunia sehari-hari. Konten-konten positif sebagai sarana orang santun di dalam dunia digital. Hal yang sebenarnya banyak yang sudah melakukan, memang kadang masih ada yang abai dan merasa baik-baik saja.

Komentar Ini adalah hal yang paling parah. Lihat saja bagaimana perilaku netizen Indonesia, sudah sangat tenar di dunia internasional, tajam, kasar, dan bar-bar. Situs global saja sering menjadi korban mereka.

Ernest Prakosa pernah mengatakan, kemajuan teknologi bisa menjadi pisau bermata dua. Sepakat, apalagi ketika orang tidak siap, gagap, dan malah salah di dalam pemanfaatan. Lihat saja pihak-pihak yang terjerat UU ITE. Padahal kemudahan ada, hanya salah di dalam pemanfaatan.

Peluang begitu besar di dunia maya, ada konten yang bisa berharga mahal, ada pula sekelas recehan dengan ikut survey-survey, uji produk, atau yang lainnya. Ini adalah peluang, sekaligus bisa juga menjadi ladang ranjau jika salah melangkah.

Buzzer RP atau influenser itu semata sudut pandang di dalam melihat. Toh politikus dan para elit parpol biasa juga menggunakan jasa pelaku media sosial untuk membantu mereka. Jangan munafik lah, mengatakan buzzer ketika itu bertolak belakang dengan kepentingan mereka. Influenser ketika sesuai dengan benak mereka.

Kekuatan media sosial dan para pelakunya itu saat ini adalah panglima, jangan memusuhi dan seolah-olah pelaku media sosial sangat jahat. Memang ada yang memilih untuk memutarbalikan fakta dan asal beda dengan pemerintah, toh banyak juga yang kritis dan cerdas, obyektif pula.

Malah orang-orang politik yang abai akan etika dan menyerang bak babi buta abai mana benar salah, patut atau tidak. Johnny Plate dan Kominfo melaju pada jalur yang tepat. Lanjutkan.***

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: